Kurang dari satu jam, monster labu dapat dilumpuhkan.
Salimbra tercekat, lalu menghentikan larinya. “Ups! Rumahku belum kukunci!” Ia menepuk dahi. Kelinci putih itu berbalik arah masuk ke rerimbunan hutan.
Seperti angin, Salimbra melesat dengan jubah ajaibnya. Jubah merah itu berkibar-kibar. Sesampainya di rumah, pintu memang terbuka. Rumah Salimbra adalah sebatang pohon Ek raksasa dengan pintu berbentuk oval. Salimbra menguncinya, lalu kembali menyusuri setapak berumput.
“Uhhh, Elis pasti sudah menungguku,” sungutnya seraya melompat-lompat. Hari ini, ia dan Elis harus membereskan kekacauan di Negeri Bawah Tanah.
Beberapa hari yang lalu Salimbra menanam biji labu di negeri itu. Ia menggemburkan tanah dan menyiramnya dengan air sungai dekat kebun. Tapi aneh, sebulan terakhir air sungai perlahan berubah warna menjadi kehitaman. Airnya juga mengental seperti minyak. Lebih heran lagi, tanaman labunya berbuah sebelum saatnya. Kata Elis, hari ini buah labunya tumbuh melebihi tinggi Eli
Salimbra terhenti di depan tunggul batang pohon tua yang tumbang.
“Aperiens Noe Fenestram!” bisiknya. Tak terjadi apa-apa. Salimbra menggaruk kepalanya. Seperti biasa ia lupa mantra pembuka jalan ke Negeri Bawah Tanah.
Ia menepuk-nepuk dahi. “Aperiesque ostium!” serunya sekali lagi. Bagian tengah tunggul kayu terbelah. Sebuah lubang menganga. Salimbra tersenyum. Dengan sekali lompatan ia meluncur ke dalam lubang.
Sigit Wahyu
Kurang dari satu jam, monster labu dapat dilumpuhkan.
Sigit Wahyu
Kurang dari satu jam, monster labu dapat dilumpuhkan.
Sigit Wahyu
Kurang dari satu jam, monster labu dapat dilumpuhkan.
“Salimbra! Akhirnya engkau datang,” Elis terlihat panik menyongsong sahabatnya.
“Apa yang terjadi, Elis?” tanya Salimbra bingung.
“Gawat, buah labumu mengamuk!” jelas Elis singkat.
Elis menarik Salimbra ke kebun labu. Buah-buah labu sebesar mulut Gua Cava sudah terlepas dari ulir-ulir tangkai. Dua pasang akar menjulur dari badan buah labu, menyerupai tangan dan kaki. Labu-labu berjalan seperti monster menuju pagar kebun. Warga Negeri Bawah Tanah berteriak-teriak sambil berlarian. Keadaan tidak terkendali.
“Ayo kita menghadap Ratu Terra,” ujar Elis. Ratu Terra tinggal di istana jamur.
“Elis, Salimbra, mengapa buah-buah labu itu tumbuh seperti monster?” Ratu Terra ingin tahu.
“Entahlah, Ratu. Aku menggunakan air sungai untuk menyiram tanaman labu. Aneh sekali, tanaman itu tumbuh sangat cepat dan berbuah monster labu!” jelas Salimbra.
“Ah, engkau lupa. Sesekali air sungai memang berubah. Penduduk Negeri Atas Tanah sering membuang racun ke sungai. Racun itu meresap ke sungai negeri ini. Para menteri pernah mengumumkan, bila hal itu terjadi, kita tak boleh menggunakan air sungai,” Ratu Terra mengingatkan
Lagi-lagi Salimbra menepuk kening. Ia menyesal. Sifat pelupanya itu membuat banyak masalah. Ratu memerintahkan mereka untuk meminta bantuan Raksasa Gigas, agar memusnahkan monster-monster labu.
Tanpa membuang waktu, Elis dan Salimbra menemui Raksasa Gigas di Gua Cava. Elis menceritakan apa yang terjadi. Raksasa perkasa itu terdiam.
“Maaf Elis, aku tak dapat membantu,” ujarnya sambil masuk ke dalam gua.
“Tunggu!” Salimbra menahan tangannya. Lengan besar berbulu itu berkeringat dan gemetar. Raut wajah Raksasa Gigas pucat pasi.
“0uuhhh, Kau benar Elis, aku takut. Dulu, Monster Batu pernah menyerangku hingga aku hampir mati,” keluhnya. Elis dan Salimbra membiarkan Raksasa Gigas sembunyi ke dalam gua.
“Elis, kelelawar suka makan buah bukan? Mereka pasti suka labu,” kata Salimbra bersemangat. Elis menepuk pundak sahabatnya dan bergegas mendatangi pohon apel, rumah para kelelawar.
“Halo, Wela, kami boleh berbicara?” teriak Salimbra. Suaranya menggema, membangunkan Wela, Si Raja Kelelawar.
“Hoaaaaammmm.... ada apa, Sal?” tanyanya dengan mata terpejam. Salimbra menyampaikan maksudnya.
“Kami suka buah, tapi hanya pada malam hari,” tolak Wela. “Penglihatanku tak jelas di siang hari.”
Lagi-lagi Elis dan Salimbra kecewa. Ketika akan beranjak pergi, sebuah apel merah jatuh. Kulitnya yang ranum penuh lubang. Seekor lalat buah menyembul keluar. Salimbra berpikir.
“Hai, lalat, kau yang memakan buah apel ini?” tanyanya. Yami, Si Lalat menggangguk. “Bagaimana dengan labu kuning besar yang renyah?”
“Ah, itu buah favoritku. Pasti manis,” jawab Yami. Air liurnya langsung meleleh. Keluarga lalat buah sangat mudah tergiur oleh buah-buahan.
Mata Elis membulat. Ia menangkap ide Salimbra. Tak lama kemudian, dengan jubah merahnya, Salimbra memimpin pasukan lalat menuju kebun labu.
Monster-monster labu merubuhkan pagar, bahkan berjalan ke rumah-rumah jamur. Dari udara, Yami dan ribuan pasukan lalat bersiap untuk berpesta. Melihat labu besar dan renyah bertebaran, air liur pasukan lalat semakin menetes-netes.
Ngeettt...ngeettt...ngeett..
Pasukan itu mulai berpesta. Monster-monster labu melompat-lompat menghindari serangan. Tubuh lalat yang kecil sulit ditangkap oleh lengan-lengan labu. Pertempuran tak berlangsung lama. Kurang dari satu jam, monster labu dapat dilumpuhkan. Prajurit lalat buah berterima kasih pada Salimbra dan Elis. Karena terlalu kenyang, mereka tak mampu terbang lagi.
Sumber: Majalah BOBO edisi 40, 07 Januari 2016
Cerita: Tuti Sitanggang (penulis cerita, tinggal di Bandar Lampung)
KOMENTAR