Angin bertiup kencang di musim gugur. Udara pagi yang dingin membuat seluruh penduduk desa bermalas-malasan. Tetapi tidak dengan Zetta. Ia harus memberi makan hewan-hewan di peternakan, membersihkan kandang kuda, mencuci pakaian, hingga menyiapkan sarapan.
Lalu di siang hari yang terik, dia harus membantu pamannya bekerja di ladang. Malamnya, ia membantu bibinya menyulam sambil menunggui neneknya yang sakit keras.
Pada malam yang cerah tak berangin, Zetta duduk di tepi jendela kamar Nenek Ruth, memandangi ribuan bintang di langit.
“Apa yang kau bayangkan?” tanya Nenek Ruth dengan pandangan iba. Ia sebetulnya tak tega melihat tangan cucunya yang selalu memar dan penuh luka karena harus seharian bekerja.
“Andaikan bintang-bintang itu dapat kupungut dan kukantongi seperti uang logam,” gumam Zetta seraya tersenyum.
Nenek Ruth termasuk orang kaya di desanya. Dia memiliki peternakan dan ladang yang luas. Tetapi, sejak Nenek Ruth jatuh sakit, Paman Alfred dan istrinya mengambil alih semuanya. Sedangkan, kedua orang tua Zetta sudah meninggal.
Di musim dingin yang kelabu, Nenek Ruth memanggil Zetta dan keluarga Paman Alfred. Dia ingin membagi harta warisan. Separuh untuk Zetta, bagian ayah Zetta yang sudah meninggal. Separuh lagi untuk Paman Alfred dan keluarganya. Namun, Paman Alfred dan istrinya merasa pembagian itu tidak adil. Ia ingin anak-anaknya juga mendapatkan bagian.
Paman Alfred amat bersikeras memaksakan kehendaknya. Hingga akhirnya Zetta tak mendapat bagian apa-apa, kecuali sepeti uang logam kuno.
“Biarlah, toh uang itu tak ada lagi harganya!” gumam Paman Alfred licik.
Keesokan harinya, Nenek Ruth meninggal dunia. Zetta sangat berduka. Sepeninggal Nenek Ruth, Zetta mendapat tugas yang lebih berat dari paman dan bibinya. Mereka memperlakukannya seperti pembantu. Dia harus tidur di dapur yang lembab dan kotor. Tetapi anehnya, setiap malam Zetta selalu bermimpi. Nenek Ruth membisikinya sesuatu;
“Ada ribuan keping bintang dalam peti uang logammu!”
Zetta tak pernah mengerti arti mimpi itu. Sampai suatu ketika terjadilah badai tornado yang menghancurkan desa mereka. Untunglah tak ada korban jiwa, karena penduduk desa telah mengungsi beberapa saat sebelumnya. Namun, harta benda mereka tak ada yang tersisa, termasuk peternakan dan ladang Paman Alfred. Rumah batu peninggalan Nenek Ruth pun hancur berantakan. Zetta menemukan peti uang logamnya terpuruk di balik reruntuhan.
Keluarga Paman Alfred jatuh miskin. Paman Alfred pun sakit keras karena setiap hari memikirkan hartanya yang hilang. Istri Paman Alfred menyuruh Zetta mencari nafkah ke kota.
“Jangan pulang kemari sebelum mendapatkan uang dan persediaan makanan!” teriak Bibi Alfred.
Zetta tak tahu harus mencari uang di mana. Dia hanya membawa peti uang logamnya. Siapa tahu uang itu laku di kota. Ternyata di sana Zetta hanya menjadi bahan tertawaan para pedagang. Sebab uang kuno itu tak berharga sebagai alat tukar.
Namun, ketika dia sebuah toko jam, seorang pelanggan terpukau dengan uang-uang logam itu.
“Hei, ini uang langka yang tak ternilai harganya!” gumam lelaki itu.
Ternyata lelaki itu seorang kepala museum di kota. Dia membantu Zetta melelang uang kuno itu. Hasilnya sungguh mengejutkan! Dengan seperti uang kuno itu dia menjadi kaya raya! Keping-keping uang logam itu sungguh tak ternilai harganya. Paman dan bibinya gembira mendengar berita itu, mereka berangan-angan menjadi orang kaya.
Namun, sungguh di luar dugaan, pengadilan memutuskan kekayaan Zetta disimpan oleh negara sampai Zetta dinyatakan dewasa. Zetta yang masih kanak-kanak dan telah putus sekolah akhirnya diangkat anak oleh Pak Kepala Museum. Dia dirawat dan disekolahkan dengan layak. Keluarga Pak Kepala Museum sangat menyayanginya.
Sementara Paman Alfred dan istrinya kecewa. Paman Alfred yang tak sabar menunggu Zetta dewasa, bertambah parah sakitnya. Tak lama kemudian Paman Alfred meninggal dunia. Bibi Alfred terpaksa menjadi pelayan di rumah Pak Kepala Museum untuk menghidupi anak-anaknya.
Ketika Zetta menginjak usia 18 tahun, negara menyerahkan harta kekayaannya. Zetta menjadi gadis terkaya di negerinya. Dia merawat bibi dan sepupu-sepupunya di rumahnya yang megah. Dia memaafkan perlakuan keluarga pamannya yang kejam. Dia sudah melupakan masa lalunya, kecuali satu hal. Suara Nenek Ruth masih terngiang,
“Ada ribuan keping bintang dalam peti uang logammu!”
(Cerita: Dwi Pujiastuti / Dok. Majalah Bobo)
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR