Sebuah lemari jati terpajang di pojok galeri Pak Cipto, seorang pengrajin kayu dari Jepara. Lemari itu diletakkan di sudut ruangan. Anggun benar bentuknya. Tingginya dua setengah meter. Berpintu tiga. Dihiasi ukiran bunga teratai, dan dipelitur mengkilap. Gagang pintunya terbuat dari kuningan. Ah, Pak Cipto sangat bangga dengan hasil karyanya. Karena itu dia tak berniat menjualnya.
Diam-diam lemari itu juga merasa bangga akan dirinya. Pikirnya, dialah benda paling indah yang menghuni galeri. Apalagi jika dibandingkan dengan lemari-lemari kayu mahoni. Uh, lemari jati selalu menyombongkan diri.
“Suatu hari nanti seorang pembeli kaya raya akan membeliku dengan harga yang mahal. Aku akan dibawa ke rumahnya yang mewah.”
Memang demikian impian semua lemari. Mereka berharap dirinya laku dijual dengan harga tinggi, lalu diletakkan di rumah yang indah. Begitu pula dengan lemari jati yang selalu membayangkan dirinya tinggal di kamar seorang raja. Ah, betapa senangnya! Hanya rumah-rumah semegah istana yang pantas memajangku sebagai perkakasnya. Gumam lemari jati besar kepala.
Hingga suatu hari ada seorang petani berkunjung ke galeri dan mengelus-elus ukirannya yang halus, si lemari jati pongah berkata.
“Rumahmu tak cukup bagus buatku, petani miskin!”
Si petani mengeluarkan uangnya dari dalam kantong. Hanya beberapa keping perak saja. Bisa jadi uang itu hasil memeras keringat bertahun-tahun lamanya! Si petani mengurungkan niatnya membeli lemari jati.
Sementara itu galeri Pak Cipto selalu ramai dikunjungi pembeli. Beberapa orang saudagar kaya, pamong praja, dan tuan tanah tertarik memiliki lemari jati itu. Tapi Pak Cipto bersikeras menolak. Pak Cipto berniat menyimpan lemari itu sebagai koleksi pribadi.
Hari demi hari berganti. Teman-teman lemari jati yang dulu sudah diboyong pembeli. Kini lemari-lemari baru menghuni galeri. Semuanya indah-indah. Bahkan banyak lemari yang lebih bagus bentuknya. Lemari jati putus asa. Dia merasa tua dan tak berarti. Apalagi pembeli sekarang lebih menyukai lemari yang ringan dan sederhana. Tak seorang pengunjung pun melirik lemari jati yang teronggok di pojok ruangan itu. Terlebih setelah Pak Cipto meninggal dunia. Galeri itu diwariskan pada anaknya. Anak Pak Cipto merasa lemari jati itu hanya menyesaki ruangan saja. Dia menjual lemari itu dengan harga yang murah. Akhirnya lemari jati laku juga.
“Inilah saatnya untuk menghuni rumah impianku!” gumam lemari jati girang. Dia mengira dirinya akan menghuni rumah yang indah. Ternyata dia dibeli oleh Pak Kasir. Seorang pedagang yang terlalu sibuk berjualan sehingga tak sempat merawat rumahnya. Keadaan rumahnya berantakan. Lemari jati bahkan ditaruh sembarangan. Di gudang, menjadi tempat penyimpanan barang dagangan. Rupanya Pak Kasir membelinya hanya karena harganya yang murah. Karena harus menanggung beban yang banyak dan berat, lemari jati pun bertambah lusuh rupanya. Bahkan ada bagian tubuhnya yang patah.
Lama kelamaan Pak Kasir membutuhkan ruangan yang lebih luas untuk menyimpan dagangannya. Lemari jati itu dirasakan terlalu besar untuk menghuni gudang. Pak Kasir memberikan lemari jati itu secara cuma-cuma pada Ndoro Sastro, seorang bangsawan yang juga menantunya. Lemari jati pun dibawa pindah.
Lemari jati berpikir impiannya terkabul. Dia akan dipajang di rumah bangsawan. Oh… betapa terhormatnya! Tapi ternyata lemari jati ditempatkan di ruang semadi. Lemari itu digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda keramat seperti keris dan tombak. Setiap hari yang dihirupnya hanyalah bau sesajen dan kemenyan. Lemari jati merasa tak bahagia. Dia menghuni ruangan sempit yang gelap dan pengap.
Suatu malam ada seorang pencuri menyelinap di rumah Ndoro Sastro. Pencuri masuk ke ruang semadi dan menjebol pintu lemari jati. Dikiranya lemari itu tempat menyimpan uang dan perhiasan. Melihat lemarinya telah rusak, Ndoro Sastro hendak membuangnya. Tapi ternyata Pak Lurah memintanya untuk dijadikan tempat menyimpan surat-surat. Lemari jati kembali berpindah tempat.
Kini lemari jati menghuni kantor Pak Lurah. Dia bertugas menampung arsip dan dokumen penduduk desa. Begitu banyak surat-surat yang bertumpuk. Sebagian besar kotor berlapis debu. Lama kelamaan udara yang lembab membuat bagian bawah lemari mulai lapuk dimakan rayap. Sehingga merusak beberapa surat berharga. Pak Lurah marah, hendak dibakarnya lemari itu agar rayapnya mati dan tak merusak surat lainnya. Lemari jati ketakutan. Tamat sudah riwayatnya!
Ketika Pak Lurah dan beberapa orang anak buahnya menggotong lemari jati ke halaman kantor kelurahan, lewatlah Pak Subur. Dia adalah petani yang biasa bekerja di sawah Pak Lurah.
“Jangan dibakar Pak, untuk saya saja. Biar nanti saya perbaiki!” ujar Pak Subur. Lemari jati bernapas lega.
Pak Subur membawa lemari jati ke rumahnya yang sederhana. Digantinya bagian-bagian lemari yang rusak. Tak lupa dilapisinya dengan obat anti rayap. Lalu lemari itu dipernis hingga warnanya kembali mengkilap. Ah, lemari jati merasa senang karena tubuhnya dirawat. Pak Subur berkata pada anak-anaknya yang gemar membaca.
“Gunakan lemari ini untuk menyimpan buku-buku kalian. Sudah lama Bapak melihat lemari ini di galeri Pak Cipto beberapa tahun lalu. Tapi waktu itu harganya mahal sekali. Bapak tak sanggup membelinya. Untunglah Pak Lurah bersedia memberikan lemari ini. Karena itu kalian harus merawatnya baik-baik.”
Lemari jati terperanjat. Dia teringat pada petani miskin yang menghitung uangnya di galeri. Dulu si petani urung membeli lemari karena uangnya tak mencukupi. Ternyata petani itu adalah Pak Subur!
Kini lemari jati bahagia tinggal di rumah Pak Subur karena mereka sekeluarga rajin merawatnya. Walau dia tidak tinggal di rumah yang mewah seperti impiannya, lemari jati cukup bangga. Karena setiap tamu yang bertandang ke rumah Pak Subur selalu memuji si lemari yang tampak sangat indah di rumah barunya yang sederhana.
(Cerita: Dwi Pujiastuti / Dok. Majalah Bobo)
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | YANTI |
KOMENTAR