Suatu hari di Norwood Road. Jalan yang ramai di tengah kota dengan bangunan-bangunan kusam yang sesak berhimpitan. Angin musim dingin yang beku menusuk tulang. Anak-anak tampak asyik bermain bola salju. Tony dan Toby duduk di teras apartemennya yang kumuh. Mereka baru saja selesai berjualan koran. Sambil istirahat, mereka menghitung pendapatan hari ini.
Tony merogoh sakunya yang dekil berdebu. Terdengar gemerincing uang logam dalam genggamannya. Dihitungnya keping demi keping dengan cermat, seluruhnya berjumlah lima penny. Tebersit rencana membelanjakan sebagian uangnya untuk membeli beberapa potong roti dan ikan hering untuk ibu dan adiknya. Tak lupa beberapa cangkir teh untuk mereka bertiga.
“Aku mendapat empat penny hari ini,” ujar Toby, “akan kubelanjakan untuk membeli truk mainan!” lanjutnya kemudian.
Sebetulnya Tony dan Toby sama-sama mengidam-idamkan mainan itu, tapi Tony pikir harga truk itu terlalu mahal.
“Lalu dengan apa kau akan makan hari ini?” tanya Tony.
“Yah, kuminta saja pada ibuku! Ssst…jangan bilang-bilang pada ibuku kalau hari ini aku mendapat uang!” bisik Toby.
Tiba-tiba terdengar suara serombongan anak-anak kecil dari kejauhan.
“Pak Willem gila! Pak Willem gila!” seru anak-anak sambil membuntuti Pak Willem dari belakang.
Lelaki tua itu diam sambil terus berjalan menjinjing kanvasnya. Dengan mantel compang-camping dan rambut acak-acakan, Pak Willem selalu jadi bahan olok-olokan. Banyak orang yang mengiranya kurang waras.
Pak Willem tinggal satu apartemen dengan Tony dan Toby, tapi mereka berada di lantai yang berbeda. Sebetulnya dia pelukis yang andal, tapi tak seorang pun bersedia membeli lukisannya.
Tony mendekat. “Hei, sana! Pergi! Jangan suka mengganggu orang tua!” hardik Tony pada rombongan anak-anak itu. Mereka mengolok-olok.
“Tony temannya orang gila! Tony temannya orang gila!”
Tony tak peduli. Dia menghampiri Pak Willem. Tubuhnya kurus. Jambang, janggut, dan kumisnya tak pernah dicukur. Tampaknya Pak Willem jarang mandi. Bau terpentin dan cat minyak semerbak menyengat dari tubuhnya. Tony merasa kasihan. Ditimang-timangnya uang hasil penjualan koran.
“Bapak sudah makan?” tanya Tony ragu.
Pak Willem menggeleng.
“Ambillah untuk makan malam!” kata Tony sambil memberikan tiga penny pada Pak Willem. Lalu dia buru-buru meninggalkan lelaki itu. Tony mengakui, nyalinya ciut juga menghadapi sosok Pak Willem yang menyeramkan.
“Hei, bocah kecil!” tiba-tiba Pak Willem memanggil. Tony gemetar, dia kuatir Pak Willem bakal marah padanya.
“Ambillah ini sebagai hadiah!” seru Pak Willem sambil mengulurkan kanvasnya. Pak Willem memberinya sebuah lukisan bunga dalam jambangan yang indah! Dengan ragu Tony menerima hadiah itu. Lukisan itu terlalu bagus kalau dibandingkan dengan uang tiga penny untuk makan malam! Ketika Pak Willem pergi, Toby langsung menghampiri Tony.
“Bodoh sekali menukar tiga penny dengan barang tak berharga!” omel Toby. Tony diam saja. Yang dia tahu Pak Willem belum makan berhari-hari dan harus ada seseorang yang mambantunya. Sejak itu Tony tak pernah lagi bertemu dengan Pak Willem. Beberapa orang tetangganya bergunjing kalau Pak Willem dibawa ke rumah sakit jiwa dan beberapa bulan setelahnya meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian Tony dan Toby tumbuh dewasa. Kini mereka bekerja menjadi pelayan pada sebuah kedai kopi. Suatu hari Tony sibuk bekerja melayani para pelanggan. Seseorang memesan kopi dan telur setengah matang. Tony membawakan pesanan itu. Sementara sang pelanggan sedang asyik membaca koran seraya bercakap-cakap dengan temannya.
“Betul-betul gila! Sebuah museum di Jerman membeli lukisan seharga puluhan ribu pound. Yang lebih mengejutkan, lukisan itu dibuat oleh Willem Oswald, seorang pasien rumah sakit jiwa!”
“Ya!” sahut temannya. “Lukisan-lukisan Willem Oswald kini diburu di mana-mana, banyak yang mau membelinya dengan harga selangit!”
Tony terhenyak, dia mencuri pandang pada halaman koran yang terbuka. Tampak wajah yang dikenalnya. Astaga, foto Pak Willem! Hari itu Tony buru-buru pulang ke apartemennya. Lukisan bunga Pak Willem masih tergantung di ruang tamunya. Tony membawa lukisan itu ke museum. Setelah diperiksa, ternyata lukisan itu betul-betul lukisan asli Willem Oswald yang terkenal. Museum menghadiahinya beberapa ribu pound. Dengan uang itu Tony bisa membeli rumah dan membuka usaha. Ketika Toby mendengarnya, dia mencibir.
“Bodoh kau! Kalau kau tawarkan lukisan itu pada kolektor seni, tentu kau akan mendapat uang berpuluh kali lipat banyaknya dari itu!”
“Aku sengaja membawanya ke museum. Mereka bisa merawat lukisan itu dengan baik. Uang tidak terlalu menjadi masalah, yang penting kenang-kenangan dari Pak Willem tetap terpelihara.”
Sepanjang perjalanan pulang Toby menggerutu. Uh, tolol sekali anak itu! Di tengah jalan, dilihatnya orang gila yang sedang mencoret-coret di selembar kanvas.
“Ah, gambar abstrak yang indah!” Toby sama sekali tak paham seluk beluk lukisan, tapi kepalanya penuh angan-angan tentang uang puluhan ribu pound! Siapa tahu orang itu akan terkenal suatu saat. Aku akan mendapatkan uang yang banyak! Pikir Toby. Dibelinya lukisan itu seharga lima pound. Si orang gila girang bukan kepalang.
Toby menawarkan lukisan itu pada kolektor seni. Tentu saja tak ada yang bersedia membelinya. Toby putus asa. Tapi bayangan kekayaan yang melimpah membuatnya pantang menyerah. Dia terus menjajakan lukisan itu, hingga banyak orang yang menganggapnya gila.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR