Sebenarnya aku menyayangi Dini, adikku satu-satunya. Namun entah kenapa, hampir setiap hari aku marah padanya. Sungguh, aku tak membenci Dini, cuma aku selalu tak mampu menahan kejengkelanku.
Bila kuingat-ingat kelakuanku, aku bukanlah seorang kakak yang baik bagi Dini. Betapa tidak, aku telah membuatnya menjadi anak yang selalu muram, rendah diri, dan ketakutan. Begitu banyak kesalahanku padanya. Aku menyesalinya, karena di dalam hati sungguh-sungguh aku mengasihi adikku itu.
Suatu hari, Dini berlari-lari kecil menyongsongku yang baru pulang sekolah. Siang itu ia masih mengenakan baju seragamnya. Biasanya ia pulang sekolah lima belas menit lebih awal dariku.
"Dini baru saja sampai. Pulang sekolah tadi, Dini tidak langsung ke rumah," katanya menjelaskan. Tak seperti biasanya, ia membuntutiku sampai ke kamar.
"Dini ke toko Enam Delapan," katanya lagi sambil mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Beli coklat."
Amboi! Mataku terbelalak melihat sebatang permen coklat yang diacungkan Dini.
"Di mana dapat ini?" Kurampas coklat itu. Hatiku penuh prasangka.
"Beli, dong!"
"lya ... ya ... sudah tahu!" Aku menjadi tak sabaran. "Tapi uangnya dari mana?"
"Dari tabungan Dini," jawabnya.
"Oh ya, tabungan Dini begitu banyak sampai mampu beli coklat mahal begini?" Aku mengacungkan coklat itu ke wajahnya.
Wajah mungil anak kelas tiga SD itu kebingungan.
"Dini mengambil uang Mama?" tuduhku sengit.
"Tidak!"
"Uang Papa?"
Dini menggeleng keras.
"Kalau begitu, pasti ..." Tergesa-gesa kuambil celenganku. Mengocok-ngocoknya. "Dini mengutak-ngatik ini, ya?"
"Tidak juga," jawab Dini lirih. "Kak Dewi percaya, deh, Dini tidak mencuri. Dini, kan, sudah menabung sejak lamaaa sekali. Uangnya juga masih sisa."
"Dini menabung hanya untuk beli coklat?" Kini kualihkan pertanyaanku. "Kalau tabungan Dini memang benar sudah banyak, Dini, kan, tetap bisa menyimpannya sampai uang itu benar- benar dibutuhkan. Kalau ada keperluan mendadak, Dini tidak perlu merepotkan Mama dan Papa. Jangan boros seperti ini!" Coklat itu kumasukkan ke dalam tasku.
Dini meninggalkan kamarku dengan mata berlinang.
Belakangan baru aku tahu Dini membeli permen coklat itu untukku. Hari itu hari ulang tahunku.
Mengingat kembali peristiwa itu, aku jadi malu sekali. Bagaimana mungkin aku bisa bersikap demikian kasar terhadap adikku. Sementara hari itu Dini teramat manis padaku.
Ada lagi sikapku yang memalukan. Aku selalu melarang Dini bergaul dengan Esti, anak seorang sopir bemo. Menurutku, Dini tak pantas berteman dengan anak itu biarpun Esti teman sekelasnya. Di mataku anak itu kumal dan jorok..
"Esti baik, kok!" bela Dini.
"Apanya yang baik? Jorok begitu! Bajunya selalu kumal ..."
Bukannya menurut, Dini malah memberikan beberapa bajunya kepada Esti. Itu kuketahui ketika Esti main ke rumah dengan memakai baju adikku yang kukenali. Begitu Esti pulang, tanpa dipanggil Dini melapor kepadaku.
"Kak Dewi bilang, baju Esti selalu kumal. Itu baju loakan, ibunya hanya mampu beli di situ. Baju Esti memang tidak bagus, tapi bersih. Waktu dia minta beberapa baju, Dini kasih. Kalau bajunya bagus, dia boleh bermain dengan Dini, ya?!"
Tentu saja tidak boleh! Bermain dengan anak jorok itu, adikku ikut-ikutan jadi jorok. Pulang ke rumah pasti kotor. Mainannya tanah dan bunga-bunga.
Masih banyak lagi sikapku yang tidak bijaksana terhadap Dini. Kejadian seminggu yang lalu membuka mataku dan sekarang aku menyesaaal sekali.
Sore itu aku mengajarinya matematika. Mungkin pelajaran itu cukup berat baginya. Satu jam aku menjelaskan, belum juga dia mengerti. Sikap tak sabaranku kambuh lagi. Kubentak-bentak dia, bahkan beberapa kali aku menggebrak meja. Dini tersentak-sentak.
Akibatnya, malamnya badan Dini panas dan mengigau terus. Berhari-hari ia demam. Selama itu, setiap kudekati adikku itu akan menjerit-jerit dan ketakutan. Aku sedih karena penolakannya itu, tetapi aku tahu Dini lebih menderita daripadaku.
Syukurlah, sejak dua hari yang lalu Dini mulai tenang dan mau menerimaku. Rasa bersalahku mulai berkurang ketika Dini tertidur lelap dalam belaianku. Wajahnya suci dan damai.
Atas seizin Mama, kubelikan dia sebatang permen coklat yang besar. Adikku itu suka cita. "Takkan habis makan sendirian," katanya.
"Boleh dikasih Esti juga," usulku.
Dini menatapku. Aku tahu apa yang harus kukatakan.
"Dini boleh berteman dengan siapa saja. Anak yang kaya, juga anak yang miskin. Yang penting, dia anak baik dan cocok bagi Dini."
Dini menciumku. Matanya berkaca-kaca. Air mataku sendiri sudah jatuh berderai. Kupeluk dia dengan erat. Aku begitu menyayanginya dan aku tahu semestinya mengungkapkannya lewat sikap ... bukan kata-kata belaka!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR