Pak Dipo dan Pak Iwan sudah berusia 60-an. Mereka berkawan dan juga bertetangga. Kadang-kadang tingkah laku mereka seperti anak-anak. Mereka suka bertengkar, tetapi biasanya mereka berbaik kembali.
Suatu hari Minggu yang cerah, Pak Dipo pergi ke rumah Pak Iwan. Pak Iwan sedang mencuci mobil tuanya.
"Ah, mobil sudah tua, tak usahlah dicuci," gurau Pak Dipo.
"Biar, kalau tak cuci mobil tak ada kesibukan. Lagi pula masih lumayan ada mobil, walaupun tua. Daripada tiap hari berjalan kaki!" jawab Pak Iwan, sekaligus menyindir Pak Dipo, karena Pak Dipo tak punya mobil.
"Ayo, lekaslah mandi. Kan, kita mau pergi ke pertemuan manula!" ajak Pak Dipo.
"Sabar. Kan, masih ada waktu. Pertemuan kan dimulai pukul 10.00. Sekarang baru pukul 08.00!" jawab Pak Iwan.
"Kan, lebih baik datang awal daripada terlambat. Siapa tahu busnya sulit!" kata Pak Dipo.
"Aah, kita, kan, tidak naik bus. Kita naik mobilku. Jangan khawatir, gratis!" kata Pak Iwan sambil menepuk mobilnya.
"Naik bus sajalah. Nanti kalau mobil tua ini mogok, kita repot. Kita, kan, sudah tak kuat mendorong mobil!" Pak Dipo mengemukakan alasan.
Pak Iwan tetap berkeras ingin naik mobil. Lalu ia mandi. Sesudah siap kedua kakek itu berangkat.
Lalu lintas tak begitu ramai. Pak Iwan menyetir dengan tenang. Di tengah perjalanan mobil mulai berbunyi, "Greeek, greeek, greeek...!" dan kemudian berhenti. Untung mereka berada di jalur di tepi jalan.
Pak Iwan dan Pak Dipo turun. Wajah Pak Iwan masam. Pak Dipo senyum-senyum dan berkata, "Betul kan, kataku tadi. Mobil ini sudah pantas masuk museum!"
"Sudah, tak usah banyak omong. Kamu juga tak ada gunanya. Tak bisa membantu apa-apa!" gerutu Pak Iwan. Ia sudah membuka kap mobil dan memeriksa mesin.
Untunglah keponakan Pak Iwan dan kawannya lewat dengan naik sepeda motor, la memperbaiki mobil Pak Iwan dan mobil itu bisa berjalan lagi.
"Untung ada anak muda yang pandai. Kalau tidak, lama-lama mogok di jalan, bisa diderek kita!" kata Pak Dipo.
"Ah, kalau tidak ada dia, aku pun sanggup memperbaikinya. Aku, kan, sarjana teknik! Aku, kan, bukan tamatan SMP!" sambut Pak Iwan dengan kesal.
Mobil terus berjalan. Wajah Pak Iwan masam dan Pak Dipo juga telinganya memerah mendengar soal pendidikan disebut-sebut.
"Walaupun aku tamatan SMP, belum tentu aku kalah cerdik. Hayo, kamu mau lomba apa?" tantang Pak Dipo.
"Nantilah, di gedung pertemuan kita bicarakan lagi. Percuma, di dalam mobil hanya ada kita berdua. Menang atau kalah tak ada saksinya!" Pak Iwan menanggapi tantangan itu.
Keduanya merasa lega. Pak Dipo mulai bersenandung lagu "Burung Kakaktua" dan Pak Iwan mengikuti. Mereka tampak bersemangat, sementara masing-masing berpikir lomba apa yang sebaiknya diadakan.
Di gedung pertemuan di lantai dua sudah ada sekitar sepuluh orang yang hadir. Kedua kakek itu bersalaman dengan yang hadir, lalu menceritakan peristiwa yang mereka alami tadi.
"Sebaiknya kami lomba apa, ya? Kalau gulat kasihan Pak Dipo. Dia pasti kalah!" gurau Pak Iwan.
"Eh, belum tentu. Dulu, kan, aku pernah belajar pencak silat!" jawab Pak Dipo sambil memperagakan gerakan memasang kuda-kuda.
Para hadirin tertawa, lalu Ibu Elvi mengusulkan, "Begini saja, Pak Iwan tuliskan 10 pertanyaan, dan Pak Dipo juga. Masing-masing harus menulis jawaban atas pertanyaan yang diajukan lawannya. Waktunya 15 menit! Nanti kami yang jadi jurinya!"
"Sebaiknya bidangnya dibatasi saja. Misalnya bidang musik dan olahraga!" saran Pak Amin.
Pak Dipo dan Pak Iwan setuju. Pak Sam mengambil kertas dan meminjamkan bolpen. Sesudah mereka menukar kertas yang berisi pertanyaan Pak Dipo berkata, "Aku mau ke bawah, ah. Aku tak mau dekat-dekat kamu. Tak bisa konsentrasi!"
Lalu Pak Dipo turun ke lantai satu. Dan Pak Iwan pergi ke sudut di ruang pertemuan lantai dua. Sementara itu para lamu, para kakek dan nenek terus berdatangan. Hari ini peminat cukup banyak. Mereka akan mendengar ceramah "Bagaimana menjaga kebugaran pada usia lanjut."
Lima belas menit kemudian waktu yang diberikan sudah habis.
Pak Sam meminta Pak Saleh, seorang pakar dalam bidang olahraga dan Ibu Rina, seorang guru musik memeriksa jawaban-jawaban kedua kakek itu.
Ternyata dari 10 pertanyaan yang diajukan Pak Dipo, Pak Iwan yang sarjana teknik itu hanya dapat menjawab 7 pertanyaan dengan tepat. Sedangkan Pak Dipo yang tamatan SMP bisa menjawab semua pertanyaan.
"Makanya, jangan suka merendahkan orang yang berpendidikan rendah!" kata Pak Dipo.
"Ya, aku mengaku salah. Maafkan, rupanya makin tua aku makin bodoh!" kata Pak Iwan.
"Ah, tidak, memang kamu lebih pandai daripada aku, kok. Sebetulnya aku hanya bisa menjawab dua pertanyaan, lainnya aku jawab sesudah melihat buku olahraga dan musik di perpustakaan di bawah!" Pak Dipo menjelaskan rahasianya.
Hadirin tertawa.
"Nah, kalau begitu tak ada soal menang atau kalah. Ternyata Pak Iwan memang cukup luas pengetahuannya. Buktinya bisa menjawab 7 pertanyaan dengan tepat. Dan Pak Dipo juga sangat cerdik karena memanfaatkan perpustakaan," Bu Elvi menengahi.
Pak Iwan menyalami Pak Dipo, dengan jabatan yang erat hangat dan menepuk bahu Pak Dipo.
"Sebenarnya kita berdua juga bodoh, karena bertengkar seperti anak kecil!" kata Pak Dipo.
"Ya, ya, memang benar katamu!" balas Pak Iwan. "Bertengkar itu tak ada gunanya."
Acara pun dimulai. Para manula sibuk mendengarkan ceramah.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR