Kutemui Agus sedang menangis di sudut gudang. Tangannya masih memegang lap basah. Sambil menangis, lap basah itu dibilas-bilasnya hingga airnya membentuk kubangan di lantai.
Aku mengelus kepalanya, ia tambah terisak.
“Sudahlah!" kataku halus.
'"Agus sudah capek."
Aku menarik lap pel dari tangannya. Lalu melap lantai yang basah. Belum selesai, terdengar hardikan di belakangku. Mbak Ria berdiri berkacak pinggang di pintu gudang. Matanya melotot ke arahku.
"Biarkan Berandal mengepel sendiri!" hardik Mbak Ria.
"Ami masuk kamar!" Agus merenggut lap dari tanganku dan cepat-cepat melanjutkan mengepel.
Aku pun segera berlalu dari situ. Tak berani aku membantah kakak sulungku itu, yang lima tahun lebih tua dariku. Dari kamarku, samar-samar masih kudengar isak Agus. Amat jarang kulihat Agus menangis. Dimarahi dan dihukum Mbak Ria hampir rutin baginya. Saudaraku nomor tiga itu nakal memang. Ada-ada saja kenakalannya. Pantas saja kalau Mbak Ria memanggilnya Berandal. Tetapi Mbak Ria juga kadang-kadang bisa keliru. Menghukum Agus yang belum tentu bersalah. Kalau begini, barulah Agus menangis diam-diam.
la merasa tak disayang dan diperlakukan tak adil. aku kasihan padanya. Tapi apa yang bisa kulakukan?
"Apa kesalahanmu?" tanyaku keesokan harinya.
"Tidak ada!" "Maksud Mbak, apa yang membuat Mbak Ria marah padamu?"
Kuperbaiki pertanyaanku.
"Kucing Iris masuk kamar Mbak Ria. Iris minta ditangkapkan."
Agus mulai menceritakan kejadian kemarin. Iris adalah adik bungsuku.
"Kucingnya berandal juga, deh, Mbak! Ditangkap nggak mau! Terpaksa pakai kejar-kejaran segala. E... e... tahu-tahu kamarnya jadi berantakan!"
"Dan... kamu lupa merapikan kembali kamar Mbak Ria?" tebakku.
"lya," jawab Agus lugu.
"Waktu Iris minta tolong, saya sedang memberi makan ayam. Setelah menangkap kucing Iris, ya saya melanjutkan kasih makan ayam. Coba kalau diingatkan, nggak perlu, deh, pakai marah-marah, pasti saya rapikan!"
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Jauh di dalam hati, aku selalu yakin bahwa adik laki-lakiku ini sebenarnya anak yang baik. Pernah aku menangis terisa-kisak ketika Mbak Ria menghukum Agus dengan menyuruhnya bekerja sepanjang hari. Kesalahan Agus waktu itu adalah mandi di sungai sepulang sekolah. Aku menganggap Agus anak paling malang di dunia ketika itu, dan Mbak Ria kakak terjahat sejagat. Akan tetapi Papa bilang, Agus memang salah dan karenanya pantas menerima hukuman.
"Agus tidak akan sakit karena bekerja," hibur Papa padaku. "Agus anak laki-laki yang kuat."
Tetap saja aku menangis. Aku tak tahu pada siapa lagi bisa mengadu. Mama yang di surga mungkin mengerti kesedihanku, tetapi ia, kan, tak dapat menghiburku.
Satu-satunya yang membuatku tenteram kembali adalah bila Mbak Ria sudah tak marah lagi. Sikapnya yang telaten dan penuh perhatian kembali kurasakan. Mbak Ria menggantikan tugas almarhum Mama mengurus rumah dan merawat kami.
Mengingat jasa-jasanya, aku jadi sayang pada kakakku itu. Mengingat kesibukannya dan betapa capeknya ia, aku jadi maklum kalau ia mengomeli kami yang berbuat bandel.
"Mbak Ria tak sayang padaku," keluh Agus yang tiba-tiba menyentakkanku.
"Ah, tidak!" hiburku kikuk karena aku juga sering berprasangka begitu.
"Mbak Ria menyayangi kita semua."
"Kecuali saya!" bantah Agus.
"Termasuk kamu!" tegasku.
"Mbak Ria marah padamu karena ia sayang. Mbak Ria ingin Agus jadi anak baik dan tahu aturan!"
"Tapi Mbak Ria selalu menyalahkan saya dan tak percaya saya bisa juga baik!"
"Mana Mbak Ria percaya kalau kamu tidak menunjukkan sikap itu!" kataku halus.
"Mbak percaya kamu bisa menjadi baik. Karena sebenarnya kamu memang anak yang baik," rayuku dengan lembut sekali. "Tunjukkan itu, dong!"
Ya... Tuhan, rayuanku berhasil!
Hari ke hari, Agus berubah. Kesibukan utamanya sekarang bukan melakukan kenakalan, melainkan mengurus ayam dan burung peliharaannya. Sikapnya pun berubah manis pada Mbak Ria. Mbak Ria tentu saja senang sekali. la tidak lagi memanggil Agus dengan sebutan Berandal.
Bahkan, suatu hari Mbak Ria membuatkan Agus kue yang sangat disukainya, kue pastel.
"Untukku semuanya, Mbak?" tanya Agus penuh sukacita.
"Nggak, dong! Papa, Ami, dan Iris juga harus dapat," sahut Mbak Ria. "Tapi, Agus boleh makan sebanyak-banyaknya!"
"Wow!" Agus berjingkrakan. Melihat kelakuannya, aku percaya ia tidak lagi merasa tidak disayang.
Ketika Papa pulang, sambil menikmati kue pastel kuceritakan kisah Agus dan Mbak Ria.
"Wah, hebat betul!" komentar Papa. "Ami anak Papa yang lembut dan..." Papa berbisik di telingaku, "... kadang-kadang cengeng..."
"Huss!" potongku. Papa tertawa, lalu berbisik begini, "Hati yang lembut mampu mengubah si Berandal jadi anak manis. Dan, anak yang manis telah mencairkan hati si kakak galak."
Nah, kalau begitu setuju?"
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR