Buku telah melewati sejarah yang panjang. Bagaimanakah sejarah buku dari masa ke masa?
Kertas yang dijilid
Buku yang kita kenal sekarang berbentuk lembar-lembar kertas yang dijilid di salah satu sisinya. Sebelumnya, tulisan diletakkan dalam gulungan kertas. Gulungan ini dianggap tidak praktis dan hanya bisa ditulis di satu sisinya saja. Manusia kemudian menumpuk-numpuk gulungan ini, menjilidnya, dan membuat tulisan di kedua sisi kertas. Maka jadilah bentuk buku seperti yang kita lihat sekarang.
Buku antik yang ditulis dan digambar dengan tangan
Ratusan tahun yang lalu, buku ditulis dan digambar dengan tangan. Buku ini sekarang menjadi buku antik. Perlu waktu sangat lama untuk menyelesaikan sebuah buku, bisa memakan waktu bertahun-tahun. Biaya pembuatannya pun sangat mahal. Buku yang dibuat dengan cara ini kebanyakan adalah kitab suci dan pemikiran tokoh-tokoh terkenal. Akibatnya, tidak semua orang bisa membaca buku. Hanya orang-orang kaya dan berjabatan penting yang bisa membacanya.
Buku cetak
Buku cetak mulai cetak dikenal luas di dunia sejak adanya penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1455. Dengan menggunakan mesin ini, buku bisa diperbanyak lebih cepat dan lebih banyak. Mesin cetak terus berkembang, makin lama makin canggih. Harga buku pun menjadi lebih murah. Toko-toko buku dan perpustakaan bermunculan di seluruh dunia. Akibatnya lebih banyak orang yang bisa membaca buku dan mendapatkan pengetahuan, tidak hanya para bangsawan dan orang-orang kaya saja.
Baca juga: 7 Manfaat Membaca
Buku elektronik
Dengan berkembangnya teknologi, buku tidak lagi harus selalu dicetak dengan menggunakan kertas. Buku elektronik ini bisa dibaca dengan menggunakan komputer atau perlengkapan khusus untuk membaca buku elektronik. Bentuk dan tata letaknya hampir sama seperti buku yang dicetak. Seperti juga buku yang dicetak, kita bisa mendapatkan buku ini secara gratis atau membelinya. Kita juga dapat meminjamnya di perpustakaan digital.
Apakah kamu suka membaca buku?
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR