"Kamu harus cari tahu! Kamu yang paling pintar!" Kembara menukas.
Terpaksa aku mengangguk. Saat itu Kembara mudah meledak marahnya bila didebat. Sang jagoan seakan sedang terkalahkan. Jadi kudekati Damar begitu bel pulang berdering. Aku memulai siasatku, "Sebesar apa sapimu?"
"Lebih besar darimu," jawabnya.
"Tapi tak mungkin, kan, sepintar aku?"
Damar memandangku dan tersenyum. Aku pun tersenyum.
"Datanglah ke rumah kalau mau lihat!" Damar memberi alamat rumahnya. la tinggal di pinggiran kota.
Pukul setengah lima sore kukayuh sepedaku menuju rumah Damar. la sudah menunggu. Langsung diajaknya aku ke belakang rumah. Dari sana, kami menyusuri jalan setapak menuju kebun milik keluarganya. Kebun itu tidak terlalu luas. Ada sebuah pondok di situ. Sungai Unda nampak di kejauhan.
"Lihat, sapiku sudah menunggu! Mungkin dia tahu aku membawa tamu!" Damar tertawa ketika menengok ke dalam pondok. Aku mengikutinya. Seekor anak sapi berwarna coklat muda memandangiku sayu. Aku tak percaya dia sedang menunggu.
"Kau mau tinggal di sini atau ikut aku mencari rumput?" Damar mengambil sebuah sabit dan keranjang besar.
Aku memilih mengikutinya daripada berduaan dengan sapi. Kami melewati hamparan sawah dan kebun sebelum sampai ke tanah lapang. Tanah itu ditumbuhi rumput yang mulai meninggi. Damar segera memotong rumput-rumput itu.
Kerjanya cepat dan sigap. Aku bersandar di sebatang pohon dan melamun. Inikah yang Damar kerjakan setiap hari? Inikah yang ia ceritakan di sekolah? Kenapa teman-temanku terpukau?
Padahal, sama sekali tak asyik! Di sini banyak serangga dan tanah mengotori kaki!
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR