"Namanya Senior!" Damar berteriak dari kejauhan. Keranjangnya hampir penuh. Sesekali ia menghapus keringat dengan lengan. Tangannya kotor dan basah. "Kalau beranak, anaknya kuberi nama Junior."
"Ooh..." Aku jijik melihat tangannya. Sejak hari itu, sepanjang minggu aku habiskan hariku bersama Damar dan Senior. Aku harus mengenal sapi itu sebelum dia kucuri. Aku mulai terbiasa.
Malah aku mulai menyukai bau segar tanah, gemersik daun-daun, gemercik air sungai. Sekarang aku tak lagi kelelahan menyusuri jalan tanah menuju sungai. Bahkan aku ikut memandikan Senior di sungai setelah kami berdua puas berenang.
"Nanti aku mau jualan susu sapi. Uangnya kubelikan sepeda roda tiga."
"Sepeda roda tiga?" Aku terkejut.
"Sssts... ini rahasia, untuk adikku!"
"Oh!" Aku jadi ingat adikku sendiri. Aku sering menjitaknya kalau lambat mengerti pelajaran atau mengganggunya bila aku tak punya kerjaan. Tak pernah kupikirkan suatu hari membelinya hadiah kejutan! Damar membuatku terharu. Sayang, demi janji, aku tetap harus mencuri sapinya.
Rencana itu aku, Guntala, dan Kembara laksanakan suatu petang. Aku sudah hapal kapan Damar mengajak Senior mandi. Jadi ketika Damar meninggalkan Senior di tepi sungai, aku dan Kembara segera mengambil sapi itu dan menuntunnya pergi. Sementara Guntala tetap mengawasi si pemilik yang sedang mandi.
Sapi gemuk itu melangkah tenang di belakangku. Aku tak asing lagi baginya. Aku dan Kembara membawanya melintasi sawah dan kebun. Langit mulai temaram. Terlihat sebuah pondok di depan.
"Aku belum hapal benar tempat ini. Kalau terlalu jauh, kita bisa tersesat," kataku.
"Kalau begitu, sembunyikan di pondok itu!"
Kami berdua lalu menggiring sapi itu masuk ke dalam pondok. Belum sempat aku mengikat talinya, terdengar suara langkah orang. Sang jagoan lebih dulu lari tunggang langgang. Aku menyusul berlari kencang.
Esoknya, Guntala dan Kembara menyambutku di sekolah dengan wajah masam. Damar dikerubuti makin banyak anak. Ketika melihatku, dengan girang Damar bilang,
"Lintang, tahu gak, sapiku bisa pulang. Kemarin kutinggal mandi, ia pulang ke pondok sendiri!"
"Bodoh!" gumam Guntala yang ditujukan kepadaku dan Kembara. Aku menunduk menyembunyikan senyum. Tentu saja aku tidak bodoh. Aku tahu itu pondok Damar. Setelah mengenal Damar, aku jadi kalau hati anak itu baik sekali. Itu sebabnya banyak yang menyukainya. Pelan-pelan kedua temanku itu mesti dinasihati!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR