Siapa tak kenal Tiga Sekawan? Seluruh anak di sekolah pasti tahu! Guntala, si murid paling kaya. Kembara, si jagoan berkelahi. Dan aku, si juara umum dari kelas satu. Si kaya, si kuat, dan si pintar menjadi sekawan. Pantaslah kami menjadi pusat perhatian dan diistimewakan teman-teman!
Tetapi, semua itu berubah kini. Tiba-tiba Damar menjadi bintang di kelas kami. Hanya gara-gara ia mempunyai seekor anak sapi!
"Aku bisa membeli seribu sapi!" Guntala menggerutu.
"Aku bisa mengangkat seekor sapi dan membuangnya ke laut!" Kembara berujar dengki.
Aku juga merasa iri. Damar, si anak biasa, tiba-tiba mencuri perhatian. Di kelas ia cuma rangking tiga, penampilannya pun sederhana.
Seingatku ia tidak pernah bermain bersama kami. Tidak pernah mendekati Guntala. Tidak pernah tunduk pada Kembara. Juga tidak pernah bertanya pelajaran yang sulit padaku. Ah, aku baru sadar hal itu!
"Dia harus diberi pelajaran!"
Guntala melipat tangannya di dada.
"Maksudmu, dia perlu dihajar, kan?" Kembara menyingsingkan lengan.
"Hm, harus pakai siasat!" Aku menyela. Tidak masuk akal memukul teman karena iri.
"Kita curi sapinya?" Mata Guntala berbinar-binar. "Kita kerjai dia!"
"Tapi kita tak tahu rumahnya!" kataku. "Tak tahu di mana kandang sapi...."
"Kamu harus cari tahu! Kamu yang paling pintar!" Kembara menukas.
Terpaksa aku mengangguk. Saat itu Kembara mudah meledak marahnya bila didebat. Sang jagoan seakan sedang terkalahkan. Jadi kudekati Damar begitu bel pulang berdering. Aku memulai siasatku, "Sebesar apa sapimu?"
"Lebih besar darimu," jawabnya.
"Tapi tak mungkin, kan, sepintar aku?"
Damar memandangku dan tersenyum. Aku pun tersenyum.
"Datanglah ke rumah kalau mau lihat!" Damar memberi alamat rumahnya. la tinggal di pinggiran kota.
Pukul setengah lima sore kukayuh sepedaku menuju rumah Damar. la sudah menunggu. Langsung diajaknya aku ke belakang rumah. Dari sana, kami menyusuri jalan setapak menuju kebun milik keluarganya. Kebun itu tidak terlalu luas. Ada sebuah pondok di situ. Sungai Unda nampak di kejauhan.
"Lihat, sapiku sudah menunggu! Mungkin dia tahu aku membawa tamu!" Damar tertawa ketika menengok ke dalam pondok. Aku mengikutinya. Seekor anak sapi berwarna coklat muda memandangiku sayu. Aku tak percaya dia sedang menunggu.
"Kau mau tinggal di sini atau ikut aku mencari rumput?" Damar mengambil sebuah sabit dan keranjang besar.
Aku memilih mengikutinya daripada berduaan dengan sapi. Kami melewati hamparan sawah dan kebun sebelum sampai ke tanah lapang. Tanah itu ditumbuhi rumput yang mulai meninggi. Damar segera memotong rumput-rumput itu.
Kerjanya cepat dan sigap. Aku bersandar di sebatang pohon dan melamun. Inikah yang Damar kerjakan setiap hari? Inikah yang ia ceritakan di sekolah? Kenapa teman-temanku terpukau?
Padahal, sama sekali tak asyik! Di sini banyak serangga dan tanah mengotori kaki!
"Namanya Senior!" Damar berteriak dari kejauhan. Keranjangnya hampir penuh. Sesekali ia menghapus keringat dengan lengan. Tangannya kotor dan basah. "Kalau beranak, anaknya kuberi nama Junior."
"Ooh..." Aku jijik melihat tangannya. Sejak hari itu, sepanjang minggu aku habiskan hariku bersama Damar dan Senior. Aku harus mengenal sapi itu sebelum dia kucuri. Aku mulai terbiasa.
Malah aku mulai menyukai bau segar tanah, gemersik daun-daun, gemercik air sungai. Sekarang aku tak lagi kelelahan menyusuri jalan tanah menuju sungai. Bahkan aku ikut memandikan Senior di sungai setelah kami berdua puas berenang.
"Nanti aku mau jualan susu sapi. Uangnya kubelikan sepeda roda tiga."
"Sepeda roda tiga?" Aku terkejut.
"Sssts... ini rahasia, untuk adikku!"
"Oh!" Aku jadi ingat adikku sendiri. Aku sering menjitaknya kalau lambat mengerti pelajaran atau mengganggunya bila aku tak punya kerjaan. Tak pernah kupikirkan suatu hari membelinya hadiah kejutan! Damar membuatku terharu. Sayang, demi janji, aku tetap harus mencuri sapinya.
Rencana itu aku, Guntala, dan Kembara laksanakan suatu petang. Aku sudah hapal kapan Damar mengajak Senior mandi. Jadi ketika Damar meninggalkan Senior di tepi sungai, aku dan Kembara segera mengambil sapi itu dan menuntunnya pergi. Sementara Guntala tetap mengawasi si pemilik yang sedang mandi.
Sapi gemuk itu melangkah tenang di belakangku. Aku tak asing lagi baginya. Aku dan Kembara membawanya melintasi sawah dan kebun. Langit mulai temaram. Terlihat sebuah pondok di depan.
"Aku belum hapal benar tempat ini. Kalau terlalu jauh, kita bisa tersesat," kataku.
"Kalau begitu, sembunyikan di pondok itu!"
Kami berdua lalu menggiring sapi itu masuk ke dalam pondok. Belum sempat aku mengikat talinya, terdengar suara langkah orang. Sang jagoan lebih dulu lari tunggang langgang. Aku menyusul berlari kencang.
Esoknya, Guntala dan Kembara menyambutku di sekolah dengan wajah masam. Damar dikerubuti makin banyak anak. Ketika melihatku, dengan girang Damar bilang,
"Lintang, tahu gak, sapiku bisa pulang. Kemarin kutinggal mandi, ia pulang ke pondok sendiri!"
"Bodoh!" gumam Guntala yang ditujukan kepadaku dan Kembara. Aku menunduk menyembunyikan senyum. Tentu saja aku tidak bodoh. Aku tahu itu pondok Damar. Setelah mengenal Damar, aku jadi kalau hati anak itu baik sekali. Itu sebabnya banyak yang menyukainya. Pelan-pelan kedua temanku itu mesti dinasihati!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR