Masyarakat Adat Ammatoa Kajang atau dikenal dengan Suku Kajang, adalah salah satu suku yang terdapat di Indonesia. Suku ini sangatlah sederhana, alami, dan hidup di alam yang masih asri dan terjaga kelestariannya.
Berkenalan dengan suku Kajang
Teman – teman, suku Kajang adalah salah satu suku tradisional yang hidup di bagian timur Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah timur kota Makassar. Cikal bakal masyarakat adat Kajang dan wilayahnya tergambar dalam mitologi asal mula kemunculan To Manurung, Tau Mariolo, manusia pertama di Kajang yang kemudian menjadi Ammatoa (Pemimpin Adat) pertama Masyarakat adat Kajang.
Suku Kajang ini sudah terkenal sejak dahulu kala. Tepatnya pada tahun 1931, ketika ahli bahasa kolonial, Abraham Cense melakukan studi untuk mempelajari sejarah tentang kehidupan masyarakat adat Kajang.
Ciri khas suku Kajang
Suku ini mempunyai ciri khas khusus dengan pakaian serba hitam, karena hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan mempunyai makna sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Warna hitam bagi suku Kajang, menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Nah, apabila memasuki kawasan suku Kajang, maka jangan lupa pakaian yang dikenakan haruslah berwarna hitam, lo.
Ciri – ciri lainnya adalah seluruh masyarakat suku Kajang, hidup tanpa alas kaki. Meskipun harus merasakan panas terik matahari, atau berjalan ke kota atau sekolah sekalipun, mereka sama sekali tidak pernah tergoda untuk menggunakan alas kaki berbentuk sepatu atau sandal.Waah, hebat yah teman – teman.
Tak berbeda jauh dengan rumah adat suku Bugis, Makassar, rumah adat suku Kajang berbentuk rumah panggung an setiap rumah dibangun menghadap ke arah barat. Mengapa ke arah Barat yah? Sebab menurut kepercayaan, dengan membangun rumah melawan arah terbitnya matahari, maka konon akan mendatangkan berkah.
Memegang teguh adat istiadat dan tradisi nenek moyang
Walau kehidupan kian modern, ditambah lagi dengan bermunculannya teknologi baru, tidak membuat suku Kajang menjadi silau dan merubah pendirian. Justru sebaliknya, suku Kajang semakin membentengi diri dan kuat berpegangan dengan tradisi nenek moyang yang disebut dengan “pappasang”, semacam hukum tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar. Salah satu bunyi hukum yang ada dalam “pappasang” adalah “Kajang, tana kamase-masea”, yang artinya tidak jauh dengan, “Kajang tanah yang sederhana/miskin”.
Dengan adanya “pappasang” ini, sehingga orang-orang yang berdiam dalam kompleks adat suku kajang, tidak mau menerima yang namanya kemegahan dunia. Meskipun begitu, Suku Kajang tidak menutup diri terhadap tamu dari luar, seperti kedatangan wisatawan dalam maupun luar negeri, asalkan para wisatawan itu mengikuti peraturan yang berlaku di adat sukui Kajang.
Penulis | : | Eka Kartika |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR