Ada sebuah laguna berair panas di dekat teluk. Meskipun musim dingin, uapnya tetap berhembus seperti kabut. Hanya monyet-monyet yang berendam di situ. Konon mereka adalah para pencuri dan perampok yang tercebur ke dalam laguna. Bila kau berhati jahat, air panas laguna akan menyihirmu menjadi monyet. Laguna itu dinamai Laguna Sihir.
Setiap hari laguna itu kulintasi bila pergi ke rumah KakekTeta. Aku membantu Kakek Teta merawat kebun jeruknya yang luas. Kutabung sebagian upah yang kuterima. Aku ingin membawa ibuku ke dokter. Sering kudengar batuknya yang tak henti-henti pada malam-malam yang dingin.
Suatu hari hasil panen lebih banyak daripada sebelumnya. Kakek Teta memberiku sekantong penuh jeruk untuk dibawa pulang. Dengan ransel yang menggelembung di punggung, kukendarai sepeda dengan hati senang. Sayup-sayup kudengar teriakan dari arah laguna.
Aku berhenti dan menoleh. Dari dalam laguna, seekor monyet yang sedang berendam melambaikan tangan. Dengan penasaran kuarahkan sepeda ke tepi laguna.
"Anak Muda, apa yang kaubawa di punggungmu?"
"Jeruk dari Kakek Teta," jawabku.
"Beri aku sebuah," rengek monyet itu.
"Kalau tidak, aku akan mencurinya dari kebun kakekmu."
"Dasar pencuri! Kalau kau lakukan, aku akan memukulmu keras-keras!"Tapi kulemparkan sebutir jeruk ke arahnya.
"Untukku satu!" seekor monyet lain mendekat.
"Kalau tidak, aku akan membunuhmu."
“Aku tak takut! Aku dua kali lebih kuat darimu!" tukasku galak. Tapi kuberi juga dia sebuah.
Makin lama makin banyak monyet yang datang. Ketika kutinggalkan tempat itu, jerukku tinggal dua.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan membawa roti buatan Ibu. Ketika melintasi Laguna Sihir, lagi-lagi monyet-monyet memanggilku. Roti Ibu tinggal sepotong ketika aku tiba di rumah Kakek Teta.
"Hmm, roti yang lezat!" gumam Kakek Teta seraya memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. "Apakah ibumu sehat?"
“Tidak begitu," jawabku sedih. "Batuknya semakin parah."
"Oh, kau harus memeriksakan ibumu ke dokter!" Kakek Teta berseru. "Tunggu, aku akan membayar upahmu lebih cepat!"
Kakek Teta menghilang ke dalam rumah. Sementara menunggu, aku mengambil koran di sudut ruang tamu. Tiba-tiba sesuatu melayang pelan sebelum jatuh ke lantai. Selembar uang kertas seratus ribu! Selembar uang yang bisa mengantar ibuku ke dokter! Selembar uang yang bisa meringankan bebanku!
Dengan cepat sekali, kupungut uang kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku. Kakek Teta mungkin telah melupakan lembar yang terselip ini. Ketika ia muncul, kuterima upahku dengan gemetar. Kakek Teta lalu menyuruhku pulang.
Hatiku tak tenang. Sepeda kukendarai kencang. Hari ini jalan seakan bergelombang. Beberapa kali aku terguncang. Dan sebuah batu yang cukup besar, entah dari mana munculnya, menghalangi jalan. Tanpa mengurangi kecepatan, aku mencoba menghindar. Ah, tetap saja ban sepeda mengenainya. Aku terpelanting dan... BYURR, aku tercebur ke dalam Laguna Sihir.
"Tolong..."aku menjerit. Kulihat serombongan anak-anak lewat. Mereka teman-temanku. "Oii, oii...." teriakku.
"Iii..." Mereka serentak menyoraki seperti monyet.
"Ke siniiii, aku Joniii...!"
"Iii..." Mereka menggerakkan mulut meniruku. Kemudian mereka terbahak-bahak. "Monyet itu lucu sekali! Lucu sekali!"
Oh, mereka mengataiku monyet! Kurabai seluruh tubuhku yang tiba-tiba berbulu. Air panas laguna telah mengubah wujudku. Teman-temanku berlalu dan aku menangis tersedu-sedu.
"Hei, hei, Anak Muda, kenapa kau di sini?" seekor monyet mengejutkanku. "Kau harus pergi, danau ini bukan tempatmu!"
"Aku seekor monyet sekarang!" tangisku semakin keras.
"Kau harus pergi!" monyet-monyet berdatangan. "Kau bukan pencuri, perampok, atau pembunuh. Kau anak yang baik. Kau telah membagi jeruk dan roti. Tempatmu bukan di sini!"
Monyet-monyet itu menyeretku sampai ke tepi. Mereka sama sekali tak mendengar penjelasanku. Aku bukan anak yang baik lagi. Aku telah mencuri uang orang yang mempercayaiku.
Akhirnya kukayuh sepeda kembali ke rumah Kakek Teta. Angin menderu-deru di sekitarku, mengeringkan baju dan uang di saku. Sesampai di sana, aku mengendap-endap mendekati jendela. Lalu kulempar uang yang kucuri ke atas meja. Segera aku menyelinap pergi.
Sekarang aku harus bertemu Ibu. Air mataku bercucuran sepanjang jalan. Betapa malang nasibku! Perbuatanku yang salah telah membuatku berpisah dengan Ibu selamanya.
"Kenapa kau pulang cepat, Nak?" Ibu membuka pintu ketika aku menyandarkan sepeda. Aku tak berani menjawab. Kukira Ibu akan terkejut.
"Oh, anakku!" Ibu mendekat. "Wajahmu pucat. Cepat masuk, udara hari ini memang benar-benar jelek!"
Oh, ibuku yang lembut dan baik hati! Ia tetap melihatku sebagai anaknya. Aku menunduk. Kulihat tanganku tak berbulu lagi, wajahku juga tidak. Aku telah kembali ke wujud semula!
Aku melonjak gembira. Akan kuceritakan pengalamanku hari ini kepada Ibu. Dengan alasan apa pun, aku berjanji tak akan pernah mencuri lagi!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR