Dahulu kala di Afrika, hiduplah seorang gadis yang sangat cantik. Penduduk desa memanggilnya Si Cantik. Sejak lahir, ia tidak pernah bicara kecuali kepada orang tuanya. Tidak seorang pun di desanya pernah mendengar sepatah kata keluar dari mulutnya.
Ayahnya sangat sedih. Semua orang juga merasakan kesedihan itu. Akhirnya pada suatu hari, sang ayah membuat sayembara. "Barang siapa dapat membuat anak perempuanku berbicara, dia akan menikah dengannya."
Berita segera saja tersebar dari satu desa ke desa yang lain. "Ada seorang gadis cantik yang tak mau bicara. Barang siapa dapat membuatnya bicara, akan menikah dengannya."
Para pelamar berdatangan dari seluruh daerah. Dari yang kaya hingga yang miskin. Penduduk desa menonton dengan mata terbelalak. Semua pelamar membawa hadiah yang indah. Tak satu pun penduduk desa yang tinggal di rumahnya. Semua pergi menonton para pelamar. Ternyata, ada pula seorang raja yang ingin menjadikan Si Cantik sebagai permaisurinya.
Walaupun demikian, tak ada seorang pun yang berhasil membuat Si Cantik berbicara. Si Cantik tidak berkata apa-apa.
Pada petang hari, tidak seorang pun memperhatikan kedatangan seorang pria tampan, kecuali Si Cantik. Pria itu mendekat, memandangi Si Cantik. Tanpa sadar, Si Cantik tersenyum ke arah pria itu. Pria itu sama sekali tidak bicara pada Si Cantik. Dia menunggu malam tiba tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ketika malam bertambah gelap, pria itu berdiri di depan Si Cantik. Ia membakar sehelai kain indah untuk dijadikan penerang. Ketika kain itu habis terbakar, ia mengambil kain lain dan mulai membakarnya lagi. Begitu seterusnya. Penduduk desa yang masih menonton mulai menggumam heran. "Pria itu gila. Kita harus menghentikannya."
Akhirnya pria itu mengambil kain terakhir, yang paling indah di antara kain yang lain.
"Tidak, jangan yang itu..." seru Si Cantik, akhirnya berbicara. Dan mereka pun menikah.
Sumber: Arsip Bobo. Diceritakan kembali oleh Anna Fauziah dari La Belle Quine Parlaits Pas
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR