Pagi ini langit sangat cerah. Catleya pun nampak segar. Dengan riang, ia berlari menuju bukit bunga dekat rumahnya. Bukit itu sangat indah. Bunga berwarna-warni tumbuh di situ. Catleya sangat senang bermain di tempat itu.
“Selamat pagi, bunga-bunga merah! Selamat pagi, bunga-bunga kuning! Selamat pagi, bunga-bunga ungu!” sapa gadis kecil itu ramah. Beberapa ekor kupu-kupu beterbangan di atas kepalanya.
“Bagaimana angin tadi malam? Tidak terlalu dingin, kan?” tanya Catleya sambil membelai bunga-bunga itu. Tentu saja mereka tidak dapat menjawab.
Pada suatu hari, datanglah seorang penyihir jahat ke desa Catleya. Penyihir itu bernama Poli Dompi.
“Poli Dompi itu jahat sekali. Hatinya beku seperti es!” Catleya mendengar percakapan orang-orang desa.
“Ayah, kata orang-orang desa, hati penyihir itu beku seperti es! Benarkah, Ayah?” tanya Catleya penasaran.
“Benar, anakku! Hati penyihir Poli Dompi memang beku seperti es. Hatinya keras dan dingin. Itu sebabnya ia jahat. la juga tidak suka pada hal-hal yang indah dan baik,” ujar ayah Catleya.
Mendengar ucapan ayahnya, gadis kecil itu menjadi khawatir.
“Bukit bungaku sangat indah. Sedangkan penyihir Poli Dompi tidak suka yang indah-indah. Oh... kalau ia... kalau ia merusak bukit, oh tidak...,” gumam Catleya khawatir.
Apa yang dikhawatirkan Catleya akhirnya terjadi. Poli Dompi menyihir agar hujan tidak turun di bukit bunga. Bunga-bunga di bukit itu pun mulai layu. Gadis kecil ini sangat sedih dan cemas. Tetapi, setelah lama berpikir, ia mendapat akal.
Catleya lalu mengajak ayahnya ke bukit bunga dengan membawa ember berisi air. Ayah Catleya membawa dua ember besar. Catleya membawa dua ember kecil. Mereka lalu memerciki bunga-bunga dengan air. Pekerjaan itu mereka lakukan setiap hari. Bunga-bunga di bukit itu pun kembali segar dan indah.
Rupanya, penyihir Poli Dompi mengetahui perbuatan mereka. Ketika Catleya dan ayahnya tengah menyirami bunga-bunga, tiba-tiba asap tebal mengepul di hadapan mereka.
“Ha ha ha! Percuma saja usaha kalian itu! Aku tidak suka yang indah-indah! Sekarang lihat bunga-bunga itu!” ujar Poli Dompi sambil mengangkat kedua tangannya. Sinar seperti kilat keluar dari telapak tangannya.
“Oh, bunga-bungaku! Ayah!” Catleya langsung memeluk ayahnya dan menangis tersedu-sedu.
Poli Dompi telah menyihir bukit bunga itu menjadi bukit salju. Tidak ada lagi warna merah, kuning, dan ungu. Semuanya putih dan beku.
“Ha ha ha,” tawa Poli Dompi lalu menghilang.
Dengan sedih Catleya menghampiri bunga-bunga yang telah diselimuti salju tebal. Bunga-bunga itu dibelainya dengan penuh kasih sayang.
“Maafkan aku, sahabat-sahabatku! Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menolongmu!” Air mata Catleya menetes membasahi salju. Perlahan-perlahan, warna merah, kuning, ungu mulai nampak di antara putihnya salju. Saljunya meleleh! Tak lama kemudian, bukit bunga pun kembali indah seperti semula.
“Apa yang terjadi, Ayah?” tanya Catleya heran bercampur girang.
Ayah hanya menggeleng-gelengkan kepala bingung. Tiba-tiba, asap hitam kembali mengepul di hadapan Ayah dan Catleya. Penyihir Poli Dompi datang lagi.
“Terima kasih, Catleya! Kau telah membebaskanku dari kekuatan sihir!” ucap Poli Dompi.
“Aku tidak mengerti!” ucap Catleya.
“Sebenarnya aku adalah penyihir yang baik. Tetapi kakakku ingin aku menjadi penyihir jahat seperti dia. Lalu aku disihirnya. Hatiku menjadi beku seperti es. Sejak itulah aku berubah jadi jahat. Kekuatan sihir kakakku hanya bisa hilang dengan air mata gadis kecil yang penuh kasih sayang,” ujar Poli Dompi. “Berkat air matamu yang penuh kasih sayang, musnahlah semua kekuatan sihir jahat. Bukit bunga kembali indah dan hatiku tidak lagi membeku seperti es!” sambung Poli Dompi.
Catleya dan ayahnya sangat bahagia.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: V. Elizabeth
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR