Matahari tepat berada di puncak langit ketika Awang tiba di beranda rumahnya. Tempat itu teduh dirimbuni pepohonan. Dia melemparkan tas ke atas meja sambil merebahkan diri ke atas sofa. Di luar sana udara terik menyengat kulit. Ugh... membuat dehidrasi, tuh, kata yang sering digunakan Bu Guru untuk menyebut istilah lemas karena kekurangan cairan.
Cuaca yang panas dan gerah membuat jarak antara sekolah dan rumah yang hanya dua ratus meter itu terasa jauh dan melelahkan. Rasa lapar meremas perut. Hmm... di siang bolong begini enaknya bermalas-malasan sambil melahap ayam goreng dan lalapan! Ups, Awang hampir lupa. Dia sedang berpuasa. Buru-buru disingkirkannya bayangan hidangan lezat yang biasa Ibu sediakan untuk makan siang.
Awang melirik jam yang tergantung di dinding ruang tamu. Baru pukul setengah satu. Berarti masih lima setengah jam lagi untuk menunggu waktu berbuka puasa tiba. Duh, betapa lamanya! Diam- diam Awang berjingkat menuju meja makan. Dibukanya tudung saji yang tertutup rapat. Yah, tak ada makanan...
"Lo, Mas Awang sudah pulang?"
Deg! Teguran Agil yang tiba-tiba hampir membuat jantung Awang lompat. Rupanya adik Awang semata wayang itu sudah sejak tadi memperhatikannya.
"Mana Ibu, Gil? Kok, sepi amat?" Awang pura-pura membersihkan meja makan dengan sapu tangannya.
"Ke pasar. Lagi belanja untuk buka puasa!" jawab Agil ringan.
Awang langsung masuk ke dalam kamar. Fiuh...dia menarik napas lega. Hampir saja Agil memergokinya. Kalau sampai ketahuan berniat batal puasa diam-diam, kan, malu! Agil yang baru duduk di kelas empat SD saja sudah tahan berpuasa seharian penuh.
Awang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Bagaimana bisa tidur kalau perutnya terus meronta. Awang gelisah. Diam-diam diintipnya Agil yang sedang sibuk mengerjakan PR di ruang tengah. Sambil berjingkat Awang berjalan menuju dapur. Dibukanya pintu kulkas. Uh, kosong! Yang tersedia cuma makanan beku.
Awang menatap jajaran lemari dapur. Sreett.. ditariknya sebuah kursi. Dengan hati-hati Awang naik ke atasnya agar dapat menjangkau pintu lemari yang tinggi. Dibukanya pintu kabinet satu persatu.Tetap tak ada makanan. Eit, tapi ada sepiring bakwan yang tersembunyi di balik kaleng mentega!
Awang menengok kiri dan kanan. Ah, mencicipi sedikit saja, kan, tak bakal ketahuan! gumam Awang membatin.
Setelah memastikan keadaan sekelilingnya aman, Awang buru-buru melahapnya. Nyam, nyam, nyam... hmm, enak! Rasanya gurih, apalagi dengan perut keroncongan seperti ini. Dalam waktu singkat empat potong bakwan telah habis disikat. Ah, lumayan untuk mengganjal perut sampai bedug Maghrib tiba.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR