Manae suka sekali menangis. Setiap hari, paling sedikit ia lima kali menangis. Ketika dibangunkan pagi-pagi oleh ibunya, ketika disuruh makan siang, ketika tak bisa menjawab pertanyaan di sekolah, ketika mengerjakan PR yang sulit, dan ketika mengantuk tetapi masih ingin main pada malam hari. Belum lagi kalau ia terjatuh, tidak diajak main oleh kakaknya, tidak dibelikan mainan… woow, bisa-bisa dalam sehari ia sepuluh kali menangis.
Pada suatu hari, ibu Manae pulang dari pasar tergesa-gesa.
“Manae, Ibu tadi terburu-buru sampai lupa membeli bandomu. Besok saja, ya!” ujar ibunya.
“Tidak mau! Pokoknya harus sekarang! Hung... huuung...,” Manae mulai menangis seperti biasanya.
Nadanya dinaikturunkan hingga terdengar mengharukan.
Akan tetapi, ibu Manae harus memasak untuk tamu ayah Manae. Ia tak punya waktu untuk membujuk.
Akhirnya Manae menangis sendiri di teras depan.
“Huuungg huuung,” Manae terus menangis tak kenal lelah.
Ia sudah terbiasa menangis lama-lama. Sampai keinginannya dituruti. Namun, kali ini ibunya betul-betul sibuk memasak. Sama sekali tak sempat membujuknya. Manae akhirnya lelah juga menangis.
“Huh, lebih baik aku main ke taman saja!” gerutunya.
Ia mengucek-ucek matanya dan membetulkan letak bandonya. Lalu berjalan keluar menuju taman di dekat rumahnya. Tiba-tiba, Manae melihat benda berkilau di rerumputan. Bergegas ia menghampirinya.
Benda itu ternyata sebuah kotak yang cantik. Besarnya sebesar tempat bedak ibu Manae. Warnanya seperti gading. Ada tempelan bunga-bunga kecil berwarna-warni lembut, terbuat dari kaca. Itulah yang membuatnya berkilau ditimpa cahaya.
Perlahan Manae membukanya. Kotak itu memang tempat bedak. Ada bedak padat dan kaca di dalamnya. Manae memerhatikan wajahnya di kaca itu. Tidak terlalu jelas. Bubuk bedak mengotori kaca. Namun, mata Manae yang sembab dan merah cukup terlihat. Hidungnya pun bengkak.
Fuh! Fuh! Manae meniup bubuk bedak yang menempel di kaca. Kini matanya yang bengkak semakin jelas terlihat. Uh! Jelek sekali! Tiba-tiba... Puff puff puff... Keluar asap-asap bagai awan-awan berbentuk hati. Manae memandangnya takjub. Apa ini kotak berisi jin? Pikirnya. Asap-asap itu berkerumun hingga membentuk sebuah sosok.
“Halo, Manae! Akhirnya kita bisa bertemu juga!”
Manae terperanjat! Kumpulan asap tadi berubah wujud menjadi wanita yang sangat cantik. Kulitnya putih sekali. Rambutnya ikal dan tergerai panjang. Tubuhnya melayang ringan.
“Si... siapa kau?” tanya Manae agak takut.
“Aku Ratu Peri Negeri Kembaran Bumi. Ayo, ikut aku!”
Tanpa banyak bicara lagi, wanita cantik itu meniup telapak tangannya. Puff puff puff...
Keluarlah asap-asap putih berbentuk hati seperti tadi. Asap-asap itu merubungi wajah Manae. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menjadi ringan dan melayang.
“Oh, aku jadi asap!” seru Manae kaget saat melihat tubuhnya. Ratu Peri itu pun kini telah berbentuk asap lagi. Ia menarik tangan Manae, dan mereka seperti tersedot masuk ke dalam kotak bedak tadi.
Syuuuutt... Manae merasa melewati lorong yang gelap. Ia tak bisa melihat apa-apa. Namun, itu tak lama. Seketika di depannya tampak pemandangan lagi.
“Selamat datang di Negeri Kembaran Bumi!” ujar Ratu Peri.
Manae memandang ke sekelilingnya. Ia berada di tempat yang mirip dengan tempat tinggalnya. Bedanya, tempat itu jauh lebih bersih. Langitnya pun lebih biru. Di situ, tampak sebuah taman. Mirip dengan taman di dekat rumah Manae. Tempat ia menemukan tempat bedak Ratu Peri.
“Ah, mungkin itu sebabnya tempat ini disebut Negeri Kembaran Bumi,” gumam Manae.
Ketika sedang asyik menatap sekeliling, tiba-tiba matanya tertanam pada dua anak sebayanya. Keduanya sedang berkejaran dengan tubuh ringan. Manae tersentak ketika melihat wajah kedua anak itu.
“Eh, itu Timi dan Danil! Mengapa mereka ada di sini juga?” seru Manae.
“Bukan! Mereka itu peri-peri negeri ini. Timchan dan Danchan,” ujar Ratu Peri. “Negeri ini memang mirip sekali dengan bumi. Peri-perinya pun berwajah sama dengan penduduk bumi. Hanya bedanya kami tidak bertulang,” sambungnya lagi.
Ya, ya. Manae kini mengerti mengapa tubuh Ratu Peri tampak ringan dan melayang-layang. Peri-peri Negeri Kembaran Bumi ternyata tidak bertulang! Manae kini memerhatikan Timi eh Timchan dan Danchan yang sedang main bola.
“Hihihi... lucu!” tawa Manae geli ketika Timchan menendang bola, mengenai kaki Danchan. Ow, kaki Danchan langsung melengkung seperti terbuat dari karet. Namun, beberapa saat kemudian kakinya kembali lagi ke bentuk asal. Negeri yang aneh. Senyum di bibir Manae melebar. Namun, seketika senyumnya hilang dan keningnya berkerut.
“Ratu, sebenarnya, buat apa aku dibawa ke negeri ini?” tanya Manae penasaran.
“Sebab kau telah membuat salah satu rakyatku sakit parah.”
Manae terperanjat. Kerutan di keningnya semakin banyak. Bibirnya tampak semakin maju. Sebelum protes keluar dari mulutnya, Ratu itu sudah berkata lagi, “Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin mengajakmu ke sini. Berkali-kali kuletakkan kotak bedakku di taman itu, tapi kau tak pernah melihatnya. Baru hari ini kau menemukan dan meniup bedak di kacanya. Hanya dengan cara itulah, aku bisa terlihat olehmu,” ujar Ratu sambil terus berjalan.
Tanpa sadar, mereka tiba di depan sebuah rumah. Aneh! Rumah itu mirip rumah Manae. Hanya warnanya yang berbeda. Lebih berwarna-warni. Ah, ada jendela juga di dekat... ah, di dekat kebun bunga juga, seru Manae di dalam hati, persis kamarnya.
“Lihatlah ke dalam!” ujar Ratu sambil mengintip di jendela itu.
Manae menempelkan wajahnya di kaca jendela.
“Hah?” Manae terperanjat.
“Wajahnya seperti wajahku...” serunya.
Dari jendela itu Manae bisa melihat seorang anak perempuan terbaring lemah. Wajahnya mirip sekali dengan wajah Manae. Bintik-bintik merah memenuhi wajah anak itu.
“Namanya Manachan. Ia kena cacar air,” ujar Ratu Peri sedih.
“Kenapa bisa kena cacar air?” tanya Manae penasaran.
Ratu tidak menjawab. Ia malah menarik tangan Manae kembali ke tempat tadi. Tempat Timchan dan Danchan bermain bola tadi. Namun, kedua anak itu kini tidak bermain bola lagi. Timchan dan Danchan kini duduk murung dan lemas di bawah pohon.
Bolanya tergeletak di antara mereka. “Lo? Kenapa mereka jadi murung?”
Manae semakin penasaran. Ratu kembali tidak menjawab. Ia menuntun tangan Manae menuju ke sebuah danau kecil. Ah, ternyata ada danau juga di sini, pikir Manae heran. Danau yang sama besarnya dengan danau di dekat rumahnya. Bedanya, air danau itu jerniiih sekali. Dan tidak ada sampah botol plastik yang mengambang.
Di tepi danau, Ratu meniup telapak tangannya. Asap-asap berbentuk hati keluar dari telapak tangannya itu. Beterbangan di atas permukaan air danau.
Aah, tiba-tiba muncul gambar-gambar di permukaan air. Persis seperti layar film di bioskop. Layar itu terbagi dua.
“Ratuu, lihat! Itu, kan, temanku, Timi. Kenapa dia menangis? Lo, Danil juga menangis?” tanya Manae heran.
Di permukaan danau, tampak jelas seperti ada dua layar film. Di layar kiri, Timi sedang menangis sedih di kamarnya. Di layar kanan, tampak Danil meneteskan air mata kesakitan. Setahu Manae, Timi dan Danil jarang menangis. Mereka termasuk anak laki-laki yang pantang menangis.
“Ketika menendang bola, tanpa sengaja bola Timi masuk ke bak sampah. Kebetulan sampah itu sedang dibakar. Bolanya jadi meleleh, terbakar api. Padahal bola itu masih baru. Oleh-oleh dari omnya yang tinggal di London,” Ratu Peri menerangkan.
Ah, Manae mengangguk mengerti. Timi memang sangat membanggakan bola itu karena ada tanda tangan David Beckham-nya. Pantas dia menangis.
“Lalu, mengapa Danil juga menangis?” tanya Manae lagi.
“Ia mencoba menyelamatkan bola Timi dari api. Tapi akibatnya tangannya terbakar. Ia merasa nyeri sekali sampai air matanya menetes,” Ratu kembali menerangkan.
Manae mengerutkan dahi sambil membetulkan bandonya. Namun, apa hubungannya dengan Timchan dan Danchan yang tiba-tiba sedih juga? Baru saja ia akan bertanya, Ratu sudah berkata, “Perasaan peri-peri Negeri Kembaran Bumi, memang tergantung perasaan kembarannya di bumi. Kalau Danil gembira, Danchan juga gembira. Kalau Timi sedih, Timchan juga bisa tiba-tiba jadi sedih.”
Manae mengangguk, mulai mengerti. Walau mengertinya hanya sedikit.
“Tapi... mengapa Manachan kena cacar air? Aku, kan, tidak kena cacar air?” Manae mengerutkan dahi.
“Itu karena kau menangis cengeng. Jika anak bumi sering menangis cengeng, maka peri kembarannya di Negeri Kembar Bumi ini bisa kena cacar air. Sudah lama Manachan sakit. itu sebabnya aku berusaha bertemu denganmu,” wajah Ratu tampak agak kesal.
Manae jadi agak marah juga. Karena Ratu seakan menuduh ia penyebab Manachan kena cacar air.
“Memangnya Timi tidak menangis cengeng?” tanya Manae judes. Kedua tangannya dilipat di dada.
Ratu menggeleng tegas, lalu berkata, “Timi menangis normal. Ia kehilangan benda yang disayanginya. Ia sangat sedih. Itu sebabnya ia menangis. Manusia tentu saja boleh menangis karena sedih. Asal tidak terlalu lama.”
“Lalu, apa Danil tidak menangis cengeng?” lirik Manae sinis.
Ratu menggeleng lagi.
“Danil juga menangis normal. Ia kesakitan. Ia berusaha menahan tangisnya. Tapi air matanya menetes juga. Itu bukan menangis cengeng.”
Manae cemberut kesal. Bibirnya berkerut dan sangat maju.
“Lalu, mengapa aku dibilang menangis cengeng? Aku, kan, menangis karena sedih juga!” teriak Manae.
Dadanya terasa penuh menahan jengkel. Air matanya hampir menetes. Ratu tersenyum lembut. Ia berjongkok di depan Manae.
“Kau sebetulnya punya beberapa pilihan. Tapi kau lebih suka memilih menangis. Itu namanya cengeng. Sekarang, ayo kita ulangi kejadian tadi pagi!”
Manae tidak mengerti maksud Ratu Peri. Tetapi, belum sempat ia bertanya, Ratu Peri telah meniup telapak tangannya.
Puff Puff Puff.
Asap-asap berbentuk hati keluar dari telapak tangannya yang lentik. Asap-asap itu merubungi wajah Manae. Beberapa detik Manae tidak dapat melihat apa-apa. Tetapi, ketika asap itu menghilang...
“Lo, rumahku?” Manae terbelalak melihat ke sekelilingnya. Ia telah berada kembali di rumahnya.
“Manae, Ibu tadi terburu-buru sampai lupa membeli bandomu. Besok saja, ya!” terdengar suara ibunya di belakang.
Manae menoleh. Aneh! Ibunya baru pulang dari pasar. Kejadian tadi pagi rupanya terulang. Dan, karena sudah terbiasa membantah, Manae langsung menjawab.
“Tidak mau! Pokoknya harus sekarang! Huuungg... huuungg...” Manae teringat kekesalannya tadi pagi. Dan ia mulai menangis meraung-raung persis tadi pagi. Walau sebenarnya ia tidak terlalu ingin menangis.
Puff Puff Puff...
Tiba-tiba, kembali ada asap di sekitar wajah Manae. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Ooh!
Manae telah berada di depan Ratu Peri lagi. Wanita cantik itu sedang tersenyum padanya. Rambut panjangnya berkibar-kibar ditiup angin.
“Waah, kau masih memberi jawaban seperti yang tadi pagi. Sebenarnya kau bisa memberikan jawaban lain. Masih banyak jawaban lain. Cobalah lagi!”
Ratu Peri kembali meniup telapak tangannya.
Puff Puff Puff!
Asap-asap berbentuk hati merubungi wajah Manae. Dan ia tiba-tiba muncul lagi di rumahnya. Terdengar langkah kaki ibunya yang pulang dari pasar.
“Manae, Ibu tadi terburu-buru sampai lupa membeli bandomu. Besok saja, ya!” sapa ibunya. Kata-katanya persis yang tadi. Dan, Manae pun hampir memberi jawaban yang sama.Namun, ia teringat pesan Ratu Peri.
“Tapi, Bu! Manae mau pakai sekarang. Ayo, kita balik ke pasar sekarang, Bu!” paksa Manae.
“Tidak bisa, sayang. Ibu, kan, harus memasak untuk makan siang. Ayahmu mengundang teman-temannya makan siang di rumah kita,” bujuk ibunya.
“Tidak mau! Pokoknya harus sekarang! Huungg... huuungg...” Manae mulai menangis lagi. Ia memang tidak suka kalau keinginannya ditunda-tunda.
Puff Puff Puff!
Manae tiba-tiba sudah berada di depan Ratu Peri lagi. Mata dan pipinya masih basah dengan air mata.
“Ow, ow! Cobalah memberi jawaban yang tanpa menangis!” saran Ratu lagi sambil tersenyum. Namun, matanya agak melotot. Tanpa menunggu komentar Manae, Ratu meniupkan asap lagi ke wajah anak itu.
Untuk ketiga kalinya, Manae muncul di rumahnya lagi. Untuk ketiga kalinya juga ibunya muncul.
“Manae, Ibu tadi terburu-buru sampai lupa memberi bandomu. Besok saja, ya!” ujar ibunya seperti yang tadi- tadi.
Manae terdiam. Jawaban apa yang harus diberikannya sekarang?
“Lo, kenapa diam sekarang? Besok ya, Ibu belikan. Ibu janji,” bujuk ibunya.
Manae tetap terdiam. Matanya menatap wajah ibunya. Senyum lembut ibunya sangat tulus. Mata bening ibunya tampak agak khawatir. Baru kali ini Manae menatap lekat ibunya. Ibu sangat baik, pikir Manae luluh.
“Iya, Bu. Besok juga tak apa-apa,”ujar Manae akhirnya.
Mata ibunya terbelalak tak percaya. Senyumnya melebar.
“Ah, Manae sekarang pintar, ya. Ibu senang sekali,” Ibu mencium ubun-ubun kepala Manae. Entah mengapa, Manae merasa lega sekali. Ia juga bangga bisa membuat ibunya bahagia.
Puff Puff Puff!
Manae kembali muncul di depan Ratu Peri Negeri Kembaran Bumi. Wanita cantik itu tersenyum lembut padanya. Persis senyum ibuku, pikir Manae. Ah, Manae tiba-tiba rindu pada ibunya.
“Ratu, aku mau pulang sekarang,” pinta Manae.
“Ya, sebaiknya begitu. Ibumu sedang sibuk mencarimu sekarang. Tuh, lihat saja!” Ratu menunjuk ke permukaan danau. Manae menoleh melihat ke layar air permukaan danau.
“Manaeee... Manaee...” Ibu Manae tampak berteriak-teriak di depan rumah. Wajahnya kelihatan cemas.
“Aku harus pulang sekarang, Ratu!” Manae mulai gelisah.
“Ya. Dan, ingat, jangan terlalu sering menangis cengeng. Supaya Manachan cepat sembuh. Bilang juga pada Timi, jangan terlalu lama menangis sedih. Kasihan Timchan yang ikut merasa sedih,” Ratu mengedipkan mata.
Manae tersenyum dan mengangguk.
Puff Puff Puff!
Asap-asap berbentuk hati kembali mengitarinya.
Ketika asap itu lenyap, Manae terkejut dan bingung. Langit biru terbentang luas di depan matanya.
Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Lo, bunga-bunga Ow! Ternyata ia sedang terbaring di taman bunga. Punggungnya beralas rumput.
“Manae... kau tertidur di sini, ya?“ Suara Ibu, batin Manae.
Ow, ternyata ibunya telah duduk berlutut di sisinya.
Manae segera duduk dan memeluk tubuh ibunya yang hangat.
“Ayo, makan bersama. Teman-teman Ayah ingin berkenalan denganmu. Nanti sore, kita beli bandomu di toko, ya,” ujar ibunya ramah.
Manae tersenyum. Kali ini ia tahu harus menjawab apa.
“Besok saja, Bu. Sehabis makan, aku akan bantu Ibu cuci piring. Setelah itu,kita berdua istirahat saja,” ujarnya sambil tersenyum manis.
Mata ibunya terbelalak, gembira, tak percaya, persis yang dilihat Manae tadi.
Yang aku lihat tadi? Manae menggumam di dalam hati. Pasti tadi aku bermimpi, pikirnya.
“Ayo, sayang. Kasihan, nanti teman-teman Ayah terlalu lama menunggu,” ujar ibunya lagi sambil berdiri. Manae langsung ikut berdiri.
TUK!
Ada sesuatu yang jatuh dari pangkuannya. Tempat bedak Ratu Negeri Kembaran Bumi! Manae terbelalak kaget.
“Tadi itu bukan mimpi...?” gumamnya berdebar-debar.
Manae cepat-cepat memungut benda itu dan memasukkannya ke dalam kantong roknya.
“Kalau bukan mimpi, berarti aku masih bisa bertemu Ratu Peri Kembaran Bumi. Tinggal meniup bedak di tempat bedak ini,” gumam Manae di dalam hati.
Senyum lebar menghias bibirnya. Ia mempercepat langkahnya, dan meraih tangan ibunya.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vanda Parengkuan.
15 Dampak Positif Globalisasi bagi Kesenian Daerah, Materi Kelas 6 SD Kurikulum Merdeka
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR