“Tolong…”
Sontak, mata Asih terbuka. Suara tangisan minta tolong itu terdengar lagi! Asih membalikkan tubuhnya, berusaha mengacuhkan suara itu. Gerakannya itu membuat tidur adiknya jadi resah.
“Sst… jangan berisik, Asih,” ucap ibu yang tidur di samping adik.
Mereka semua memang tidur berdempetan di atas kasur tipis. Mau bagaimana lagi, masih bagus ada atap yang menaungi mereka tidur.
Asih hanya mengangguk pelan, tetapi tetap terdengar olehnya suara tangisan minta tolong di antara kecipak air Sungai Ciliwung. Suara minta tolong itu hanya didengar olehnya. Keluarganya hanya menganggap ia salah dengar. Sedangkan teman-temannya malah menakut-nakuti. Mereka bilang itu tangisan Hantu Sungai Ciliwung yang dibunuh dan jenazahnya dibuang ke Sungai Ciliwung bertahun-tahun lalu.
“Aduh, jangan suka ingat cerita yang macam-macam, ah! Hantu itu tidak ada!” hardik Asih pada dirinya sendiri.
Namun, tetap saja ia merinding saat tangisan minta tolong sekali lagi terdengar, membelah malam sunyi dan gelap pekat tanpa lampu. Asih jadi kesal sendiri karena ia ketakutan dan tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk keluar dan membuktikan sendiri bahwa sama sekali tidak ada apa-apa di luar. Setelahnya, dia pasti akan tidur tenang.
Maka, Asih memberanikan diri keluar diam-diam. Tahukah kamu, apa yang ia lihat? Peri kecil! Yup, peri kecil yang terjepit di antara tumpukan sampah Sungai Ciliwung. Ia senang sekali melihat Asih. Tanpa buang waktu, Asih langsung menolong peri itu membebaskan diri.
“Terima kasih. Sudah lama sekali aku terjepit di sana,” kata peri itu. Kulitnya tampak kotor berlendir di bawah sinar bulan. “Huhuhu… padahal dulu sungai ini cantik sekali, tapi sekarang, duh, susah sekali kalau mau ke sini, malah tersangkut sampah,” omel muram peri kecil.
Nama peri itu Senyura. Ia peri kecil penghibur hati. Tugasnya menghibur hati penduduk yang tinggal di tepi Sungai Ciliwung. Tadinya banyak sekali peri-peri penghibur hati yang bertugas di Sungai Ciliwung. Namun, karena sampah-sampah semakin menggunung, semakin susahlah bagi para peri itu untuk berdayung menyusuri Ciliwung dengan perahu kecil mereka. Akibatnya, semakin sedikit peri yang datang untuk menghibur. Bisa ditebak, semakin sedikit penduduk yang tersenyum di tepi Sungai Ciliwung.
Asih memang ingat, ibunya pernah bercerita dulu, penduduk di tepi Sungai Ciliwung selalu tertawa ceria. Seperti ada kekuatan hangat yang menyelimuti hati mereka. Namun, sekarang… kehidupan terasa semakin keras dan semakin sedikit suara tawa yang terdengar di daerah sekitar rumahnya.
Senyura mengusap dahi. Perjalanan panjang itu menguras tenaganya. Ia hanya bisa memberi senyuman dan kegembiraan kepada Asih seorang. Dengan seulas senyuman bersinar di pipinya, Senyura pergi meninggalkan Ciliwung.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR