Tio memandang gapura di tengah tanah lapang itu sambil menguap. Selain gapura yang masih berdiri kokoh, yang lainnya hanya fondasi reruntuhan batu hitam dan lapangan hijau.
“Huh! Apa, sih, menariknya melihat-lihat reruntuhan batu seperti ini?” pikir Tio di dalam hati sambil mengedarkan pandangan ke seluruh situs bersejarah Ratu Boko. Batu-batunya yang berwarna hitam itu malah menimbulkan ide. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Teman-temannya masih sibuk mencatat-catat. Pak Guru memang menginginkan mereka membuat karya tulis soal situs reruntuhan batu yang membosankan ini.
Tio membuka kotak pensilnya dan mengeluarkan sebotol tip-ex. Berbekal tip-ex, Tio berjalan mengelilingi situs mencari tempat yang paling cocok buat meninggalkan jejaknya. Ya, Tio memang suka sekali menggambar. Hanya itu satu-satunya pelajaran yang diminatinya. Sayangnya, ia suka menggambar di mana-mana. Baginya, gambar-gambar dan grafiti hasil karyanya bagus sekali dan sebetulnya memang bagus, hanya, tempatnya saja yang tidak tepat. Mejanya di sekolah sudah habis ia gambari dengan tip–ex. Omelan dan hukuman sudah tidak mempan baginya.
Tio terus berjalan menyusuri situs itu, lalu berjalan menurun menuju bagian keputren situs itu. Lalu, yap! Itu dia! Batu hitam itu seperti memanggil-manggil. Sebetulnya, sih, semua batu di situ hitam, hanya saja yang ini pori-pori batunya lebih halus. Sekali lagi, Tio menoleh ke kiri dan ke kanan. Semua masih sibuk mencatat-catat di atas. Maka mulailah tangan Rio beraksi.
Sret sret sret… grafiti nama Tio mulai bermunculan di batu hitam itu. Tak terasa, satu batu sudah habis di- ‘hiasi’-nya. Tio mulai beralih ke batu-batu lainnya. Saat akhirnya teman-temannya mendekatinya, Tio sudah mencoret-coret sederet penuh batu di reruntuhan keputren situs Ratu Boko. Tidak berapa lama kemudian, saat hari sudah sore, mereka pulang ke rumah masing-masing tanpa seorang pun mengetahui soal grafiti yang dibuat Tio di sana.
***
Suara tawa gadis kecil itu sangat mengganggu Tio. Suara tawa itu disusul dengan bunyi langkah dan suara gadis lain yang memanggil gadis itu, “Tiur! Tiur!” demikian gadis kecil itu dipanggil.
Tiur tetap berlari di antara dinding keraton, lalu ke luar melewati gapur batu hitam, menuju lapangan hijau luas. Tiba-tiba Tiur menoleh ke arah Tio. Lalu ia berjalan ke arah Tio.
Tangan kecilnya yang memegang kuas teracung tinggi. Tio merasa ketakutan. Ada sesuatu yang aneh pada wajah Tiur. Tampak pucat dan dingin. Tio mulai berlari dan berlari, tapi Tiur terus mengejar dan mendorongnya sampai terjatuh. Tiur lalu menorehkan kuas itu ke pipi Tio. Rasanya sakit, tapi Tio tidak bisa bergerak. Begitu juga saat Tiur mencoret-coret kening dan lengannya. Sakiiit sekali! Tio mulai menjerit keras.
“Tio! Tio! Bangun!” Tio tersentak terbangun. Seisi kelas tertawa berderai menertawakan Tio yang ketiduran di kelas. Sampai mengigau menjerit pula.
Tio mengusap pipinya dengan malu, alangkah terkejutnya dia. Pipinya tercoret cat putih!
“Cuci mukamu dulu, Tio. Bagaimana, sih, sudah kelas V, masih saja ketiduran di kelas sampai muka belepotan tip-ex,” omel Bu Nasri, wali kelasnya. Tio menurut dan pergi ke kamar mandi sekolah.
Namun, coretan-coretan di pipi, kening, dan tangannya tidak mau hilang! Anehnya, saat Tio memperhatikan coretan-coretan itu, coretannya seperti membentuk sesuatu yang amat dikenalnya. Tiba-tiba Tio merinding. Itu seperti grafiti yang ia coretkan di situs Ratu Boko. Suara tawa Tiur di lapangan hijau di luar keraton itu seperti bergema di dalam kamar mandi.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR