“Aku sudah tak sabar ingin menggambar meteor yang berjatuhan!” seru Coreng sambil mengemasi alat gambarnya. Keluarga kelinci akan pergi ke pantai melihat hujan meteor.
Upik menyiapkan payungnya. “Untuk apa, Pik?” tanya Bobo heran. “Kita harus pakai payung supaya tidak kehujanan meteor,” jelas Upik. Bobo tertawa. “Upik, meteor tidak akan menghujani kita.”
“Wow, indahnya!” seru Coreng melihat bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Lihat! Dung Dung mulai asyik menghitung bintang. ” Limabelas... enambelas... tujuhbelas...”
“Bo, kapan, sih, hujan meteornya? Huuh, lama sekali! Oahemm!” Upik mulai mengantuk. Wah, Upik tertidur!
Syuuut! “Hei, lihat! Hujan meteor!” Bobo menunjuk ke langit. “Wow, indah sekali! Bintang-bintang itu seperti berjatuhan!” komentar Coreng tanpa mengedipkan matanya. “Sayang, hujan meteor hanya terjadi sekejap!”
“Mana? Mana hujan meteor?” tanya Upik yang baru bangun. Oh, Upik terlambat! “Aku ingin melihatnya!” tangis Upik. Aduh, semua kebingungan.
“Tunggu! Aku sudah menyiapkan bekal khusus!” seru Bobo. Wusss... syuuut! Kembang api menari-nari di langit. “Tak kalah indah dengan hujan meteor!” teriak Coreng. Upik pun bisa tertawa gembira.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vero. Ilustrasi: Rudi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR