Jika makan ke restoran dengan nuansa Jepang, Tiongkok, atau Korea, pasti kita menemukan sumpit. Memang di negara-negara tersebut, sumpit menjadi alat makan yang utama.
Hmm… bagaimana ya asal usul terciptanya sumpit?
Berusia Ribuan Tahun
Penggunaan sumpit sebenarnya berawal dari bangsa Tiongkok. Bagi bangsa ini, sumpit sudah dipakai sejak 3000 hingga 5000 tahun yang lalu.
Kenapa sumpit?
Nah, waktu itu diceritakan bahwa masyarakat Tionghoa sangat suka makan bersama. Agar tidak terjadi hal buruk, mereka pun percaya bahwa alat makan yang tajam harus dihindari. Menurut filsuf China bernama Confusius (551-479 SM), garpu, sendok, dan pisau, digunakan sebagai senjata untuk berperang sehingga berbahaya dan tidak pantas ada di meja makan. Dari sanalah akhirnya tercipta sumpit.
Gading Gajah
Pada awal pembuatannya, sumpit dibuat dari gading gajah. Harga sumpit ini sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki oleh para pejabat.
Selain itu, pernah juga diciptakan sumpit perak yang memiliki keunggulan, yaitu bisa mendeteksi racun dalam makanan. Wow! Sumpit bisa berubah warna ketika ada racun yang terdeteksi dalam makanan itu.
Pembuatan Sumpit
Lambat laun sumpit berkembang dan dipakai oleh masyarakat luas yang berada di Asia Timur. Sumpit pun menjadi bagian dari budaya bahkan ada sopan-santun saat menggunakan sumpit.
Sumpit bisa dibuat dari berbagai bahan, mulai dari gading, logam, bamboo, dan plastik. Sebelum digunakan, bahan-bahan itu akan dibentuk menjadi dua batang sama panjang, lalu dihaluskan, dan dilapisi cat agar tidak melukai mulut saat makan.
Ciri Khas Negara
Walaupun di Asia Timur banyak negara yang menggunakan sumpit, selalu ada yang unik dari penggunaan sumpit tersebut. Setiap negara memiliki aturan atau kebiasaan menggunakan sumpit yang berbeda. Selain itu, bentuk, warna, dan gambar-gambar pada sumpit pun bisa menunjukkan kebudayaan masing-masing negara.
Teks dan Foto: Putri Puspita | Bobo.ID
Bertemu Karakter Favorit di Doraemon Jolly Town MARGOCITY, Apa Saja Keseruannya?
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR