Bobo.id – Setiap tanggal 21 atau 22 Desember, teman-teman kita yang keturunan Tionghoa melakukan salah satu tradisi, yaitu perayaan Onde. Seperti apa ya perayaan itu? Yuk, kita intip.
Sejarah Perayaan Onde
Perayaan ini dipercaya sudah ada sejak masa Dinasti Han, sekitar 2000 tahun yang lalu.
Pada masa Dinasti Song, sekitar tahun 1127, perayaan ini dilakukan bersamaan dengan doa untuk arwah nenek moyang dan memuja 5 unsur di Bumi, yaitu logam, air, api, tanah, dan kayu.
Perayaan Onde semakin menyebar luas dengan bermigrasinya orang-orang Tiongkok ke daerah-daerah lain, termasuk Indonesia.
Akhirnya, pada masa Dinasti Qing sekitar tahun 1600-an, perayaan ini menjadi salah satu perayaan penting di Tiongkok dan daerah lainnya sampai sekarang.
Membuat Onde
Onde dibuat dari tepung beras yang dibentuk bulat-bulat kecil dengan 3 warna, ada warna merah atau merah muda, hijau, dan putih. Ada onde yang tidak berisi, tapi ada juga yang diisi dengan kacang tanah atau bisa juga cokelat.
Perayaan Onde di Tiongkok sendiri sebenarnya sekaligus untuk merayakan puncak musim dingin. Mereka makan makanan hangat, salah satunya adalah onde karena onde disiram dengan kuah kental yang terbuat dari gula dan jahe.
Arti Perayaan
Onde dipercaya melambangkan keutuhan dan persatuan keluarga serta eratnya ikataan persaudaraan.
Itulah kenapa tradisi ini dirayakan bersama keluarga, bukan seperti Perayaan Imlek atau Tahun Baru yang bersilaturahmi dengan saudara-saudara jauh.
Keluarga biasanya berkumpul sehari sebelum perayaan untuk bersama-sama membuat onde. Biasanya doa atau sembahyang dilakukan pada pagi hari. Setelah itu mereka bersama-sama menikmati onde.
Makan Onde
Makan onde pun ada aturannya, lo. Seseorang harus memakan onde yang jumlahnya sama dengan umurnya dan ditambah 1.
Misalnya, seorang anak yang berusia 8 tahun harus makan onde berjumlah 9 buah atau seorang kakek yang berumur 76 tahun harus makan onde berjumlah 77 tahun.
Mereka percaya dan berharap agar usia bisa bertambah setiap tahunnya.
Penulis | : | Cirana Merisa |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR