“Hmm... enaknya menggambar apa, ya?” pikir Coreng. “Ah, mungkin aku bisa dapat ide di loteng!” Coreng naik ke loteng. Kresek...kresek...cit..cit... Suara apa itu?
“Wah, jangan-jangan...,” Coreng mulai takut. “Bapaaak!!!” Coreng cepat-cepat turun mencari Bapak. Karena ketakutan, alat-alat gambarnya sampai berjatuhan.
“Aha, rupanya ini si hantu penunggu loteng itu!” kata Bapak sambil tertawa. Cit..cit...cit... Anak-anak burung itu mencicit ribut. “Aih, lucunya!” seru Upik.
“Bapak, aku ingin memelihara burung,” rengek Upik. Bapak menggeleng. “Ah, kamu belum bisa merawatnya.” Huuh, Upik kesal.
Pagi itu Upik ngambek. Dia tidak mau makan. “Aku ingin memelihara burung!” katanya. Pssst, Bobo membisikkan sesuatu pada Upik.
“Lo, ke mana anak-anak?” tanya Emak heran. “Astaga, roti tawar sebungkus habis mereka makan?” Emak menoleh ke luar jendela, lalu tersenyum.
Wah, rupanya Bobo, Coreng, dan Upik sedang asyik memberi makan burung-burung pipit yang sering beterbangan di halaman. “Asyik, aku sekarang punya banyak burung!” seru Upik sambil melemparkan roti-roti di tangannya. Cit.. cit.. cit... Burung-burung pipit pun mencicit senang.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vero. Ilustrasi: Rudi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR