Saat itu perpustakaan masih sepi. Julia sedang menunggu temannya untuk mengerjakan tugas kuliah. Sambil menunggu ia membaca-baca majalah yang ada di dekat kursi.
“Hai Julia!” sapa Ria.
“Hai, aku sampai duluan. Tadi berangkat lebih awal karena ingin pinjam buku dulu sebelum diskusi,” kata Julia.
Baru kali ini Julia dan Ria satu kelas dan dipasangkan oleh dosen untuk satu kelompok bersama.
BACA JUGA: Antara Susi, Sushi, dan Kenangan Ibu (Bagian 1)
“Yuk, kita mulai diskusinya supaya tugas ini cepat selesai,” kata Ria.
Mereka pun duduk melingkar dan memulai diskusi. Tugas kali ini seputar budaya Indonesia yang kaya.
Semuanya bersemangat untuk diskusi.
Pembahasan tentang kekayaan budaya Indonesia memang menyenangkan.
Mereka akhirnya memilih pembahasan mengenai kain-kain tradisional.
Tidak butuh waktu lama, semua pertanyaan untuk diskusi sudah terjawab. Mereka pun merapikan buku dan laptop.
“Dulu saat kecil, aku pernah diceritakan oleh temanku mengenai salah satu kain bali, namanya endek,” kata Ria.
“Oh ya, aku juga sempat dikirimkan foto dan surat mengenai kain ulos khas Sumatera Utara,” kata Julia.
“Aku jadi teringat sahabat penaku saat kecil dulu, yang baik itu. Hampir semua tentang Bali ia ceritakan padaku,” kata Ria sambil mengenang.
“Iya, aku juga punya sahabat pena saat kecil dulu. Awalnya dari kirim surat –Apa Kabar Bo-, lalu jadi punya banyak sekali sahabat pena dari seluruh Indonesia,” kata Julia.
“Lo, aku juga berawal dari kirim surat ke Bobo,” kata Ria.
“Oh ya? Sebentar-sebentar…”
(BACA JUGA: Menulis Surat untuk Anak Indonesia)
“Jangan-jangan kamu Lia dari Bali, ya? Yang waktu kecil dulu jadi sahabat penaku di Bobo?” kata Ria dengan wajah penasaran.
“Iya! Aku menulis nama Lia di surat-suratku,” jawab Lia.
“Iyaaa! Kamu Lia sahabat penaku. Kalau aku menulis nama Maria, panggilan kecilku dulu,” kata Ria.
“Ohhhh…. aku ingat! Kamu pernah kirimkan aku foto-foto pembuatan ulos, bahkan kirimkan ulos kecil untukku,” kata Lia.
“Astagaaaa, tidak terasa sudah belasan tahun yang lalu, ya. Tidak sangka bisa bertemu di sini,” kata Ria.
Mereka pun sangat gembira dan langsung berpelukan.
BACA JUGA: Bazar Sekolah
“Sekarang umurku 21 tahun, berarti kita surat-suratan sudah 15 tahun yang lalu, ya. Ya ampuun! Waktu tulisanku belum bagus, masih berantakan,” kata Ria.
“Ah, sama! Dulu juga baru belajar menulis surat. Aku selalu senang mendapatkan surat dari sahabat pena. Rasanya tahu banyak tentang Indonesia,” kata Julia.
“Tidak sangka, ya, sekarang kita satu kampus, bahkan satu jurusan kuliah,” kata Ria.
“Bahkan satu kelas dan satu kelompok,” kata Julia menambahkan.
Mereka pun tertawa bersama. Mereka lanjut bercerita sambil berjalan keluar perpustakaan.
Mengenang masa kecil yang sangat seru karena ada Bobo dan juga bisa punya banyak sahabat pena.
Sahabat pena bisa memberi cerita seru tentang daerah dan pengalamannya yang mungkin kita belum tahu.
Tidak ada yang menduga bahwa saat dewasa mereka akhirnya benar-benar bertemu tanpa sengaja seperti ini.
Kalau tidak berawal dari sahabat pena di Bobo, mungkin pembicaraan mereka tidak akan seru seperti sekarang.
“Majalah, majalah, Majalah Bobo untuk anak…” kata seorang penjual majalah di pinggir jalan.
Mereka pun tertawa berdua mendengar seruan penjual itu.
“Aku akan beli satu untuk adikku. Supaya ia bisa seperti kita,” kata Ria.
“Aku juga! Akan aku ceritakan tentang pertemuan ini padanya,” kata Julia.
Mereka pulang dengan perasaan senang dan berjanji untuk bertemu lagi sebagai sahabat bertukar cerita, melanjutkan cerita-cerita saat kecil dulu.
Kisah nyata dari dua pembaca Majalah Bobo yang bertemu saat kuliah di salah satu universitas di Jawa Barat.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR