“Ini kan kampung Bang Kimin.” Kata Bang Kimin dengan senyumnya yang merekah. Ia sangat bahagia.
“Haaah? Yang mana rumah Bang Kimin. Yang mana?” tanya Bella melihat sekitar. Anak-anak yang awalnya asik bermain bersama, sekarang berkumpul di dekat Bang Kimin.
BACA JUGA: Cergam Bobo: Cimut Makan Sayur
“Rumah Bang Kimin ada di belakang perumahan ini. Lewat gang kecil di sana, tuh!,” katanya sambil menunjuk.
“Inilah kampung Bang Kimin. Dulu rumah-rumah di perumahan ini tidak ada. Adanya tanah yang gersang. Tidak bisa ditanam juga. Biasanya digunakan bermain bola oleh anak-anak. Waktu Bang Kim kecil juga begitu.”
“Bang Kim, tidak marah lapangan bolanya jadi hilang?” tanya Laura.
Bang Kim menggeleng. “Kan, itu ada lapangan bola, lapangan basket, dan taman juga yang dibuat. Tidak hilang, hanya berbeda bentuknya. Lagi pula jadi lebih indah. Dulu, Bapak dan Paman Bang Kim yang ikut membangun rumah ini satu per satu.”
“Wah, keluarga Bang Kim hebat!” kata Robert.
“Keluarga kalian juga hebat karena begitu baik dan ramah pada kami. Dulunya, Bang Kim dan warga lainnya sempat takut kalau kalian sombong, apalagi kan orang-orang kaya. Ternyata Bang Kim salah. Warga perumahan ini sangat ramah. Bahkan mau membuka pekerjaan untuk warga desa. Mau berbagi banyak hal.”
BACA JUGA: Malam Itu, Aku Berjanji Tetap Baik
“Bang Kim, Selamat Idul Fitri yaaaa,” teriak salah seorang Ibu dari lantai dua rumahnya. Rumah tepat di depan Bang Kim berjualan. Bang Kim melambai menyampaikan terima kasih.
“Seperti itu. Hidupnya rukun walaupun berbeda. Walaupun tidak ikut merayakan, tetapi memberi selamat. Berbagi kebahagiaan saat kalian rayakan Natal, Galungan, Waisak, dan hari raya lainnya,” lanjut Bang Kim.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR