Malam belum begitu larut. Ruang tamu sudah disulap menjadi kamar tidur. Kursi-kursi plastik ditumpuk di tepi dekat dinding. Dua helai kasur busa sudah digelar lengkap dengan bantalnya. Nenek si Ira berbaring menelungkup. Ira duduk bersimpuh, memijit-mijit kaki dan punggung neneknya. Dari rumah petak di sebelah terdengar penyiar teve sedang membacakan warta berita.
Sebuah gitar tergantung di dinding. Gitar yang amat berharga, karena merupakan sumber penghasilan bagi Nenek Ira yang bertubuh gemuk pendek itu. Di kamar tidur satu-satunya di rumah petak itu, Ibu dan Ayah Ira serta kedua adiknya sudah lelap.
Besok pagi-pagi sekali, pukul 05.30, Ibu dan Ayah Ira sudah harus berangkat ke tempat penjemputan. Bus pabrik akan membawa buruh-buruh pabrik menuju tempat kerja mereka di luar Jakarta. Sore hari menjelang magrib barulah mereka tiba di rumah kembali.
"Kalau ada keperluan untuk sekolah, bilang saja. Jangan segan-segan!" kata Mbah.
"Ya, Mbah. Sekolah di sini lain dengan sekolahku yang dulu. Banyak anak orang berada. Hanya beberapa anak saja yang orangtuanya kurang mampu seperti kita!" kata Ira.
"Kawan-kawan akan mengadakan kelompok belajar. Setiap kelompok terdiri dari empat anak, dan diadakan bergiliran di rumah anggota kelompok. Bagaimana, ya. Apakah mereka mau belajar di sini? Dan kita pun tentunya harus menyediakan kue dan minuman!" sambung Ira.
"Kamu harus berani menghadapi kenyataan. Walaupun kita tinggal di perkampungan kumuh, rumah petak ini cukup bersih. Ajak saja mereka ke sini. Mbah akan menyediakan es sirup, lemper, dan kue bola!" kata Mbah.
"Ah, mau tak mau Mbah harus menyediakan biaya ekstra!" keluh Ira.
"Tuhan memberikan kita rezeki. Setiap siang Mbah berangkat mengamen, pasti Mbah dapat uang. Ingat, suatu ketika nanti Mbah akan menyaksikan kamu diwisuda, tamat dari Akademi Perawat, memakai seragam putih dan mengabdikan diri merawat orang sakit. Dan itu mendorong Mbah untuk tetap bersemangat mengerjakan tugas rumah tangga dan mencari uang. Kamu dipindahkan ke sekolah bermutu karena Mbah ingin kamu mendapat pendidikan terbaik untuk masa depanmu!" demikian kata Mbah.
Hal itu juga mendorong Ira, sebagai siswi kelas 6 SD untuk giat belajar. Memang, walaupun Ayah dan Ibu buruh pabrik, perlengkapan sekolah Ira tak kalah dengan anak-anak lain, la juga tak pernah terlambat bayar uang sekolah. Itu semua karena perjuangan Mbah, yang menyanyikan lagu keroncong sambil bermain gitar dari rumah ke rumah, berjalan di terik matahari. Kadang dicemooh orang, kadang diejek anak-anak yang merasa lucu melihat nenek tua gemuk bersanggul mengamen dari rumah ke rumah.
"Sudah malam, matikan lampu dan mari kita tidur!" kata Mbah.
Tak lama kemudian kedua orang itu pun terlelap.
Esok harinya di sekolah Ira berkata pada Marta, Yuli, dan Agnes, "Kapan kita mulai kegiatan kelompok belajar? Aku tinggal di rumah petak di perkampungan kumuh. Kalau kalian tidak keberatan, datang saja ke rumahku untuk belajar bersama. Mbahku tidak bisa menyediakan makanan istimewa, hanya es sirup, kue bola, dan lemper!"
"Wow, itu sudah hebat. Kalau belajar di rumahku, paling-paling hanya ada biskuit dan air es!" kata Marta.
"Kamu beruntung, punya Mbah yang begitu memerhatikan keperluan cucunya!"
"Ayah dan ibuku bekerja dari pagi sampai sore. Jadi Mbah yang menyediakan makanan!" Ira menjelaskan.
"Untuk pertama kali, kita belajar di rumahku saja. Kedua kali di rumah Ira, ketiga di rumah Agnes, terakhir di rumah Marta. Begitu seterusnya bergiliran. Mulainya besok, ya!" Ketua kelompok Yuli, mengambil keputusan.
Esok harinya, keempat anak itu belajar di rumah Yuli. Rumahnya bagus. Mereka duduk di atas karpet di ruang tamu dekat meja tamu.
"Kalau mulai sekarang kita giat belajar, waktu Ebtanas nanti kita tidak akan mengalami kesulitan. Walaupun masih lama, tak ada salahnya kita bersiap-siap!" kata Yuli.
Mereka serius mengerjakan latihan matematika. Suasana hening. Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh lagu, "Sepasang mata bola ... dari balik jendela ...."
Anak-anak itu menoleh ke depan. Jantung Ira berdebar-debar. Suara itu amat dikenalnya dan sosok tubuh yang gemuk pendek itu juga tak asing baginya.
"Huuh, orang lagi asyik belajar. Mengganggu saja!" gerutu Marta.
"Sudah tua, masih mengamen. Lagunya lagu keroncong lagi. Bilang saja maaf, tidak ada uang kecil. Kamu saja yang ke depan, Nes!" tambah Yuli.
Sejenak Ira ragu-ragu. Apakah sebaiknya ia pura-pura tidak mengenal mbahnya? Namun, Mbah sudah berkorban banyak untuknya. Dan Mbah selalu mengajarnya untuk berani menghadapi kenyataan. Agnes belum lagi bangkit, Ira sudah menghambur ke depan. Kawan-kawan mengira Ira mau menyuruh pengamen itu pergi.
Namun, Ira membuka pintu gerbang dan berkata, "Mbah, ini rumah Yuli. Mbah mau minum dulu?"
Ketiga anak lainnya berdiri di ambang pintu, melihat dengan heran. "Kawan-kawan, perkenalkan, ini nenekku!" kata Ira.
"Selamat sore. Maaf, kalau menganggu!" kata Nenek Ira dengan sopan. la menyalami anak-anak itu dengan sikap hormat, lalu segera pamitan. Anak-anak itu masuk ke dalam.
"Maaf, Io, kami tidak tahu itu nenekmu!" kata Yuli.
"Ah, tidak apa. Itulah nenekku yang bekerja keras untuk membiayai sekolahku. la ingin aku berhasil mencapai cita-citaku, menjadi perawat!" Ira menjelaskan.
Teman-teman Ira sadar, mereka tidak boleh meremehkan orang hanya karena melihat penampilan. Nenek Ira ternyata sangat berarti bagi Ira. Jasanya juga sangat besar.
Anak-anak itu belajar kembali. Sayup-sayup terdengar suara gitar dan lagu: "Sepasang mata bola...!"
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna
Bertemu Karakter Favorit di Doraemon Jolly Town MARGOCITY, Apa Saja Keseruannya?
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | YANTI |
KOMENTAR