“Itu memahat? Ha ha ha ha…,” tawa Rudi meledak melihat apa yang ditunjuk Runi.
“Runi, kamu hebat, kok. Waktu seumurmu Datuk belum bisa memahat batu,” puji Datuk.
“Datuk juga bisa memahat batu?” tanya Runi.
“Iya. Datuk dulu pernah belajar memahat di sebuah desa dekat Candi Borobudur. Ternyata memahat itu tidak mudah. Sejak saat itu, Datuk menjadi pengagum ukiran di batu,” ujar Datuk.
“Pantas saja Datuk memandangi arca-arca lama sekali, sampai-sampai menggunakan kaca pembesar,” sahut Rudi.
“Runi, sebenarnya kamu mau memahat apa, sih?” tanya Datuk.
“Hmmm… Apa, ya? Aku hanya mengikuti garis-garis ini,” jawab Runi sambil menunjuk goresan kapur.
“Rencananya ini akan menjadi arca seorang putri. Yang dipahat Runi itu bagian hidungnya. Anggap saja ini lubang hidungnya,” kata Pak Bambang sambil tersenyum.
Semangat Runi makin bertambah mendengar pujian Datuk. Ia melanjutkan lagi memahat batu itu. Setelah beberapa pukulan, batu itu masih belum berwujud. Akhirnya Runi kelelahan. Runi pun menyusul Datuk yang masih asyik mengamati arca-arca yang ada di taman. Kali ini Runi dapat menikmati keindahan arca-arca batu itu. Runi juga berubah menjadi pengagum ukiran di batu seperti Datuk.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sylvana Hamaring Toemon.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR