Upacara Adat Aceh yang Masih Dilestarikan hingga Sekarang, dari Peusijuek hingga Uroe Tulak Bala

By Thea Arnaiz, Jumat, 8 Oktober 2021 | 12:30 WIB
Mengenal upacara adat Aceh yang masih dilestarikan oleh masyarakat. (pxhere)

 

 

Bobo.id - Upacara adat Aceh banyak diwarnai oleh keagamaan yang turut mengakar di masyarakatnya.

Hal ini membuat upacara adat Aceh mempunyai ciri khas dan makna khusus untuk teman-teman ketahui.

Upacara adat biasanya dilakukan untuk perayaan-perayaan tertentu sebagai rasa syukur. Indonesia sendiri mempunyai berbagai macam upacara adat yang berbeda-beda sesuai suku, kebiasaan, dan wilayah.

Oleh karena itu, teman-teman bisa mengenal upacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat Aceh berikut ini.

1. Peusijuek

Upacara adat Aceh yang pertama adalah peusijuek.

Upacara ini dilakukan ketika harapan seseorang tercapai. Seperti mempunyai sawah, mempunyai kendaraan baru, mempunyai rumah, dan lain-lain.

Dalam pelaksanaannya, peusijeuk dipimpin oleh tokoh agama atau tokoh adat setempat.

Tokoh tersebut bisa laki-laki atau perempuan, yang dihormati karena ilmu agamanya.

Prosesi ini diisi dengan doa keselamatan dan kesejahteraan dan keberhasilan dalam memperoleh sesuatu serta sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa.

Baca Juga: Mengenal Tari Saman dari Gayo, Budaya Indonesia yang Diakui UNESCO

2. Meugang

Upacara adat Aceh selanjutnya ada meugang atau makmeugang. Upacara adat ini melakukan prosesi menyembelih hewan kurban, yaitu sapi atau kambing.

Biasanya dalam perayaan nasional seperti Iduladha, kita juga akan menyembelih hewan kurban dan dilakukan sekali dalam satu tahun.

Tapi, upacara adat meugang ini dilakukan dalam tiga kali dalam setahun. Tepatnya, pada bulan Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Nantinya, daging sembelihan akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Hewan kurban yang disembelih bisa berjumlah ratusan dan biasanya masyarakat sekitar akan memasak daging hasil sembelihan dan dibawa ke masjid agar bisa dimakan bersama-sama.

Upacara adat Meugang sendiri sudah dilakukan sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan mengakar pada kehidupan masyarakat Aceh sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena sudah memberikan rezeki.