Perang makanan atau “nimpung” ternyata menjadi tradisi unik dari Pulau Nusa Penida, Bali. Tradisi ini selalu berhasil membuat para warga bersorak-sorai dan suasana desa menjadi semarak.
Desa Semaya
Tradisi nimpung dilaksanakan di Desa Pekraman Semaya, Nusa Penida. Masyarakat Desa Pekraman Semaya berkumpul di bawah pohon asem, tempat nimpung berlangsung. Mereka duduk rapi melingkar menghadap ke padmasana perempatan desa.
Banten dan sesajen dihaturkan dipimpin seorang pemangku. Mantra teruncar, suara genta memecah pagi. Selain banten, setiap keluarga juga menyiapkan pajegan/sesaji berisi buah-buahan, berbagai ikan dan ayam bakar yang dipajang berjejer.
Dimulai dengan Aba-aba
Setelah pemimpin upacara selesai menghaturkan sesaji, dilanjutkan dengan persembahyangan bersama. Setelah dirasa semua siap, kepala adat dengan menggunakan pengeras suara mengajak masyarakat mengambil pajegan-nya masing-masing untuk dipangku. Kemudian, kepala adat akan memberikan aba-aba bahwa nimpung akan dimulai. Masyarakat mulai saling lempar dengan makanan yang dicabut dari pajegan yang dipangku.
Perang Makanan
Suasana “perang makanan” muncul ketika tradisi nimpung ini dilakukan. Para warga saling lempar makanan dari sesaji yang telah selesai dihaturkan. Mulai dari jajanan, buah-buahan, ikan bakar, bahkan sampai ayam panggang pun juga menjadi bahan lemparan. Perang makanan itu berlangsung satu jam, diiringi canda tawa.
Suasana semakin semarak ketika terjadi saling tantang dan tawar menawar untuk melempar atau dilempari makanan. Ada yang senang dilempar ketika makanan yang dilemparkan lezat, tidak sakit ketika mengenai tubuh, seperti ayam bakar.
Tidak sedikit pula ada mengaduh kesakitan saat yang dilempar dengan kencang, terlebih yang dilempar apel dan salak. Walaupun demikian, warga tetap bersemangat dan suara tawa pun mengiringi dilaksanakannya tradisi Nimpung ini.
Tri Hita Karana
Nimpung berasal dari kata nimpug yang berarti menghantam dengan saling lempar makanan. Nimpung merupakan upacara bentuk perwujudan pelaksanaan Tri Hita karana, yaitu hubungan baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Tradisi ini diikatakan perwujudan pelaksanaan Tri Hita Karana karena dengan paryangan: untuk menyelaraskan hubungan manusia dengan Ide Sang Hyang Widhi melalui persembahyangan bersama sebagai wujud syukur, Pawongan hubungan dengan manusia dengan manusia dengan saling akrab bergembira di acara ini, dan palemahan : hubungan dengan alam melalui penggunaan sebagai persembahan hasil pertanian dan peternakan warga sendiri.