Pemahat Kayu dan Patung Anak Sapi

By Vanda Parengkuan, Selasa, 27 Maret 2018 | 08:00 WIB
Pemahat Kayu dan Patung Anak Sapi (Vanda Parengkuan)

Di sebuah desa yang makmur, semua penduduknya hidup berkecukupan. Namun, ada seorang pemahat patung yang hidup sangat miskin. Pemahat ini ingin sekali memiliki seekor anak sapi. Namun, karena tak punya cukup uang, ia pun memahat sebatang kayu menjadi patung anak sapi.

Anak sapi buatan si Pemahat ini sangat mirip dengan anak sapi betulan. Kepala dan ekornya pun bisa bergerak-gerak. Sepintas, tak ada yang bisa membedakan anak sapi kayu ini dengan anak sapi betulan. Pemahat ini pun telah menganggap anak sapi kayu itu sebagai hewan kesayangannya.

“Anak sapi ini masih kecil sekarang. Tapi nanti, dia akan menjadi sapi dewasa yang besar dan sehat,” gumamnya sambil mengelus kepala anak sapi kayu itu.

Suatu hari, lewatlah seorang pemuda di depan rumah si Pemahat. Pemuda ini adalah seorang gembala. Hari itu, ia sedang libur dan tidak menggembalakan ternaknya.

“Maukah kau membawa anak sapiku ke padang rumput yang terbaik? Kalau kau mau, aku punya hadiah untukmu,” sapa si Pemahat.  Si Gembala yang masih muda ini langsung mengangguk.

“Kalau kau memberiku hadiah, tentu saja aku mau,” ujar si Gembala.

“Anak sapi ini masih sangat muda dan belum bisa berjalan. Jadi kamu harus menggendongnya. Ambillah tongkat gembala hasil pahatanku ini sebagai hadiah untukmu,” ujar si Pemahat lagi. Ia memberikan pada si Gembala sebatang tongkat gembala dari kayu yang diukir indah. 

Gembala itu sangat gembira menerima hadiah itu. Ia segera menggendong anak sapi kayu itu dan membawanya ke padang rumput. Akan tetapi, setiba di padang rumput, si Gembala agak malas menjaga anak sapi kayu itu.

“Anak sapi ini bertubuh kecil, tetapi berat, Pasti dia suka makan banyak. Aku biarkan saja dia sendirian berkeliling padang rumput. Kalau sudah puas makan, baru aku jemput,” pikirnya.

Gembala lalu meninggalkan anak sapi itu begitu saja di padang rumput. Ia pun tidur-tiduran di bawah pohon.

Ketika sore tiba, si Gembala terbangun. Dia berteriak-teriak memanggil anak sapi itu. Namun, anak sapi itu tidak juga muncul. Si Gembala malas untuk mencari si anak sapi.  

“Buat apa aku bersusah payah mencarinya. Kalau anak sapi itu bisa makan sendiri, pasti dia bisa pulang sendiri juga,” gumamnya.