Dendam yang Sia-sia

By Sylvana Toemon, Selasa, 13 Maret 2018 | 02:00 WIB
Dendam yang Sia Sia (Sylvana Toemon)

"Sudah lama aku mencarimu, tapi tak bertemu. Baru beberapa hari yang lalu ada orang yang mengatakan bahwa kamu tinggal di desa tak jauh dari kota kecil ini. Aku datang mencarimu, tapi ternyata mobilku ini mogok di sini!" demikian cerita Pak Anto.

Pak Amang sangat terharu atas perhatian kawannya yang demikian besar. Setelah mobil diperbaiki Pak Amang mengajak Pak Anto ke rumahnya. Mereka bercerita dengan asyik. Dengan terus terang Pak Amang menceritakan niatnya untuk membalas dendam pada Pak Dudi. Pak Anto menggeleng-gelengkan kepala.

"Buang saja dendam itu Pak Amang. Pak Dudi sudah meninggal akibat serangan darah tinggi. Itu terjadi tiga bulan setelah Pak Amang mengundurkan diri. Hanya kami tak tahu alamat Pak Amang dan Pak Amang juga tak pemah kontak kami, jadi berita itu tak bisa kami sampaikan!" demikian penjelasan Pak Anto.

Pak Amang terdiam. Rupanya selama ini ia salah langkah. Ia terus mengingat kata-kata Pak Dudi dan membencinya, tapi ternyata Pak Dudi sudah meninggal. Tak ada gunanya dipermasalahkan lagi. Dan dendamnya juga merupakan dendam yang sia-sia. Dan kalau dipikir, ada benarnya pendapat Pak Dudi. Pak Amang harus meningkatkan keetrampilan melukisnya. Hanya cara mengemukakannya terlalu pedas.

Malam itu Pak Amang tidur nyenyak. la sudah membuang dendamnya. Dendam yang sia-sia. Kira-kira sebulan kemudian penyakit eksimnya sudah sembuh. Dan nama Amang Subandi terkenal sebagai pelukis bunga dan ia pun mulai aktif melukis sampul buku lagi dengan teknik yang lebih baik.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.