"Tapi aku, kan, bermaksud baik, Bu. Vina kurang kasih sayang. Ibu dan ayahnya sering pulang malam, terlalu sibuk bekerja. Susternya tak pandai mendidiknya. Buktinya Vina belum buat PR didiamkan saja!" Weni berusaha membela diri.
"Benar, tapi bukan tugas kamu untuk mendidik Vina. Kamu bisa meluangkan waktu ala kadarnya. Tapi kamu juga harus berkawan dengan anak-anak sebayamu. Dan hubungan dengan saudara harus dijaga. Bisa-bisa kamu tidak punya kawan nanti!" nasihat Ibu.
"Cobalah kamu pikirkan baik-baik!" akhirnya Ibu berkata.
Weni masuk ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, ia pergi ke rumah Vina, la memeriksa PR Vina, menyuapinya makan sambil nonton video Donal Bebek, dan mendengarkan celoteh Vina.
Baru saja Vina selesai makan, ibu dan ayah Vina pulang. Mereka mau mengajak Vina ke dokter gigi, jadi Weni pulang ke rumah.
Suasana di rumah sepi, karena Ayah, Ibu dan kedua kakak Weni sudah berangkat ke rumah Frida. Weni membayangkan senangnya makan enak di pesta sambil bersenda gurau dengan sanak keluarga. Namun, tak mungkin ia menyusul naik bis, karena rumah Frida cukup jauh. Dicobanya menelepon Hermin, tetapi Hermin sedang pergi ke Gelanggang Remaja dengan Ita dan Novi.
Weni duduk di sofa sendiri. Ia mulai memikirkan nasihat Ibu. Benar juga, seharusnya ia membatasi pergaulannya dengan Vina. Tapi, bagaimana? Vina sudah begitu lekat padanya. Juga ia akan ketinggalan dengan kawan-kawan bila tidak ikut kursus tari Bali. Bukankah sebenarnya ia masih menginginkannya? Weni terus berpikir-pikir.
Akhirnya ia menarik napas lega. la teringat akan Lulu yang tinggal di ujung jalan. Dan Titi, anak tetangga seberang rumah. Kedua anak itu sebaya dengan Vina. Besok ia akan memperkenalkan Vina pada kedua anak itu, lalu mengajaknya main bersama. Lama-lama Vina tentu bisa berkawan dan tidak tergantung pada Weni lagi. Dan Weni bisa main sekali-sekali dengan Vina. Hubungannya dengan Hermin akan dekat kembali seperti dulu.
Sayangnya, sekarang mau tak mau ia harus sendirian di rumah. Apa boleh buat. Weni mondar-mandir, tak tahu apa yang harus dikerjakan. Namun tak lama kemudian ia sudah asyik membaca buku cerita. Satu hal yang sudah lama tidak dilakukannya. Ah, asyiknya!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna