Tiga Hati Penuh Kasih

By Sylvana Toemon, Selasa, 3 April 2018 | 02:00 WIB
Tiga Hati Penuh Kasih (Sylvana Toemon)

Terdengar kokok ayam. Nina membuka matanya, namun memejamkannya lagi.

"Ah, masih terlalu pagi!" kata hatinya.

Dari lubang angin kelihatan di luar masih gelap. Namun, ia tidak bisa tidur lagi. Dan ia memasang telinganya baik-baik ketika mendengar suara Ibu dan Bapak. Keduanya sedang sibuk bekerja di ruang makan yang tepat berada di depan kamar Nina.

Sebelum fajar, Ibu dan Bapak harus bangun. Lalu mengorek kue talam dari cangkir-cangkir kecil. Terus, memasukkan empat-empat buah ke dalam wadah plastik, lalu diselotip. Jam enam akan ada pedagang-pedagang kue keliling yang datang untuk menjajakannya. Begitu setiap hari, bahkan hari Minggu juga.

"Seharusnya Nina dibangunkan. Harusnya ia membantu Ibu," terdengar suara Bapak.

"Kasihan, dia masih kecil!" kata Ibu.

"Ah, sudah kelas V kok dibilang masih kecil!" bantah Bapak.

"Biar saja ia konsentrasi pada pelajaran. la juga capek karena sesudah sekolah masih les tari dan bahasa Inggris!" lanjut Ibu.

"Aku juga capek. Kerja seharian di kantor, dan pagi-pagi ikut bangun mengurus kue!" kata Bapak.

Terdengar tawa Ibu.

"Siapa suruh ikut bangun? Kalau mau tidur, ya tidur saja. Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku!" kata Ibu.

"Bukan begitu. Bapak hanya ingin Nina diberi sedikit tanggung jawab. Kalau dia berhasil, kita beri tanggung jawab yang lebih besar. Begitu secara bertahap. Kalau sudah besar nanti ia terbiasa bertanggung jawab!" kata Bapak. "Aku sih rela saja bantu istri tercinta."