Si kembar Randi dan Rano mirip sekali. Sama-sama berambut hitam lurus dengan paras yang santun dan manis.
Bedanya, Randi lebih rakus. Tanpa bertanya, ia selalu mengambil kue-kue terbesar. Ibu mereka sudah meninggal, dan ayah terlalu sibuk buat memperhatikan hal semacam itu.
Suatu hari mereka piknik di tepi Danau Tolire, Ternate, bersama ayah dan Pak Silu, pemandu wisata mereka di Ternate.
Randi langsung mengambil potongan mi skotel yang paling besar. Pak Silu melirik ayah si kembar yang diam saja. Pak Silu tersenyum.
"Saya punya cerita untuk kau," ujar Pak Silu kepada Rano.
Lalu, mulailah ia bercerita tentang sebuah desa yang aman tenteram. Namun, seorang ayah lancang mengambil harta terpenting putrinya, dan berubah menjadi danau Tolire.
Penduduk desa itu pun menjadi buaya putih penjaga harta karun. Belum selesai cerita Pak Silu, tiba-tiba sekelebat putih muncul di belakang Pak Silu. Mata si kembar membelalak lebar.
Astaga! Itu Buaya Putih! Buaya Putih maju menerjang ke arah si kembar. Refleks, si kembar melompat mundur dan byur! Mereka berdua jatuh ke dalam danau!
Dasar danau ternyata berupa desa adat dan keduanya bisa bernafas di dalam air. Namun, Buaya Putih kembali menyerang dan mendorong Rano ke suatu semak tanaman air. Rano pun menghilang bersama si Buaya Putih.
Dengan panik, Randi menyibakkan semak, menyusul mereka, tetapi malah menemukan suatu ruangan dengan meja panjang yang dipenuhi makanan lezat.
Ada ayam panggang kecap, dadar keju, macam-macam somay dengan bumbu kacang yang harum, bermangkuk-mangkuk bakso dengan seledri dan sawi hijau, bertumpuk-tumpuk lemper, risoles, dan entah apa lagi.
Seorang putri cantik berpakaian adat Halmahera berwarna serba putih duduk di meja itu. Putri itu tersenyum ramah saat melihat Randi.