“Jangan badan saja yang besar ya. Cita-cita juga harus besar,” jawab bapak Abi sambil tertawa.
Cita-cita?
Dulu saat di kelas dan ditanya Pak Rafif, aku bilang kalau aku ingin menjadi masinis. Pertama, karena aku tak pernah lihat kereta api. Kedua, karena masinis pasti keren. Namun, apa ada masinis yang lulusan SD? Pasti tidak ada.
“Bagaimana Uta? Mau sekolah dimana kau?” tanya bapak Abi membuyarkan lamunanku.
“Belum tahu, Pak. Kata bapakku, diminta bantu Bapak saja di laut,” jawabku dengan lancar.
“Wah janganlah, Ta! Otak kau nanti tak berkembang,” kata bapak Abi.
Aku hanya tersenyum tak menjawab. Bapak Abi pun tak melanjutkan percakapan ini lagi. Aku rasa ia mengerti masalahku.
Malam harinya, tiba-tiba aku lihat bapak Abi sudah bercakap-cakap dengan Bapak di atas perahu. Percakapan itu sepertinya serius dan membuatku takut mengganggu.
“Apa yang mereka bicarakan ya? Mungkinkah tentang sekolahku?” tanyaku di depan pintu.
“Uta! Kau disana rupanya. Ayo, kemari!” tiba-tiba bapak Abi memanggilku.
Aku pun menghampirinya. Jantungku berdegup kencang. Ada apa ya ini?
“Berapa kau punya tabungan, Ta?” tanya Bapak tiba-tiba.