Dhutan batu giok yang luas, Pangeran Kecil yang baik hati duduk di atas lumut hijau dan menangis. Dia berteriak dengan putus asa untuk meminta pertolongan, karena dia tersesat dan terluka, jauh dari istana marmernya. Yang pertama mendengar teriakannya adalah seekor burung merpati putih, yang sedang melayang di atas kepala.
“Merpati yang baik hati, bawalah saputangan ini pada ayahku, sehingga dia bisa menjemputku dengan kudanya!”
Merpati itu tampak sangat tersinggung.
“Kau pikir, aku mau merusak buluku yang seputih salju ini dalam perjalanan jauh menuju istanamu? Aku tidak mau!” katanya mencemooh.
Tanpa basa-basi lagi ia terbang dengan sayap-sayap keperakan.
Tak lama kemudian, sepasang burung hitam tampak berhenti di dekat Pangeran. Pangeran menatap mereka dan memohon dengan letihnya,
“Teman yang baik hati, pergilah dan berikan saputangan ini kepada ayahku, sang Raja. Tolong beritahu, bahwa anaknya tersesat di tengah hutan batu giok!” ,
“Pangeran yang baik hati, kami sedang terburu-buru karena harus membuat sarang sebelum daunnya menjadi kuning”. Dan mereka terbang, meninggalkan Pangeran dengan kesengsaraannya.
Burung Tit Biru datang di samping Pangeran. “Burung biru yang indah, terbanglah dengan cepat ke istana ayahku. Tolong beritahu dia, bahwa anaknya ketakutan di hutan ini.”
“Maafkan aku, Pangeran Kecil. Setelah meninggalkanmu, aku pasti langsung lupa telah bertemu denganmu. Begitulah aku, berkepala kosong!”
Dan burung Tit Biru terbang, riang, ke langit biru.
Pangeran kehilangan semua harapan untuk diselamatkan. Di saat itu, seekor burung cokelat kecil, tiba-tiba hinggap di tangan Pangeran. Dia adalah burung yang berhati baik dan penuh kasih. Ia sedih melihat Pangeran yang tampak putus asa. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Pangeran Kecil yang baik hati itu. Dia meraih saputangan bernoda darah yang dilukis dengan darah dan berangkat untuk terbang ke istana.