Semedi Kucing

By Sylvana Toemon, Sabtu, 14 April 2018 | 12:00 WIB
Semedi kucing (Sylvana Toemon)

Di kaki sebuah bukit, tinggal seorang petapa. Ia sangat dihormati penduduk di sekitarnya. Mereka senang jika dapat berbuat sesuatu untuk Si Petapa. Salah seorang di antaranya adalah pemuda bernama Chelababa. Hampir setiap hari Chelababa menghadap Si Petapa. Ia menganggap petapa itu sebagai guru. la memperbaiki rumah si petapa dan melayani Si Petapa tanpa meminta imbaian.

Suatu senja, dalam semedinya si petapa menerima panggilan dari gurunya. Guru petapa itu tinggal di puncak Himalaya.

"Aku harus pergi ke puncak Himalaya menemui guruku," kata si petapa pada Chelababa.

Chelababa menjadi ragu. Apakah ia harus ikut si petapa, atau tetap tinggal di bukit itu? Akhirnya Chelababa berkata, "Saya ikut, Guru."

"Kepergianku tak mungkin diikuti orang lain," ujar si petapa ramah. Chelababa sangat sedih, "Kapan guru kembali?"

"Mengapa aku harus terikat pada janji-janji? Aku seorang petapa. Aku bisa pergi kapan saja dan ke mana saja aku suka," jawab Si Petapa.

"Lalu bagaimana dengan rumah mungil pertapaan ini?"

Si Petapa tertawa.

"Rumah pertapaan ini memang untukku. Tapi aku bukan milik rumah pertapaan ini. Telah banyak benteng dan gedung besar hancur menjadi debu. Apalagi gubuk ini. Apa ruginya jika gubuk ini musnah?"

Chelababa tidak menjawab lagi. Ia hanya menangis dan berkata, "Guru, izinkan aku tinggal di gubuk ini, agar selalu terkenang pada Guru. Mungkin suatu ketika Guru akan kembali lagi ke sini."

Si Petapa merasa kasihan pada Chelababa yang baik hati.

"Baiklah, jika itu yang kau inginkan."