Namun, Dea sayang dengan Mbak Neni.
Dea mendekati Mbak Neni siang itu. Ia bertanya,”Mbak Neni akan pindah dari sini, ya?” tanya Dea.
Mbak Neni yang punya senyum lembut segera menggandeng tangan Dea ke arah ruang tengah.
“Iya Dea, jika Dea mengizinkan. Mbak Neni akan pindah dari sini,” kata Mbak Neni.
Dea tiba-tiba merasa sedih mendengar hal itu. Kenapa Mbak? Rasanya Dea ingin bertanya begitu, tetapi ia hanya diam dan menunduk.
“Mbak Neni sayang Dea, dan Mbak Neni senang, sekarang Dea sudah jadi anak pintar,” kata Mbak Neni.
“Memangnya kalau Dea pintar, Mbak Neni harus pindah?” tanya Dea dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau sudah besar, pintar, dan hebat, kan Dea sudah bisa lebih mandiri, bahkan bisa menolong orang lain. Nah, Mbak Neni perlu menjaga anak lainnya supaya jadi hebat seperti Dea,” jawab Mbak Neni.
Dea hanya diam saja. Ia masih sedih mendengar bahwa Mbak Neni tidak bekerja di rumah lagi.
“Maaf, ya, Dea, Mbak Neni tidak bisa disini lagi dengan Dea. Tapi, Mbak Neni selalu mendoakan Dea dan Mbak Neni yakin kalau Dea akan jadi anak hebat. Anak hebat itu anak yang mandiri. Dea sudah mulai mandiri,” kata Mbak Neni sambil memeluk Dea.
Dea mengangguk dan memeluk Mbak Neni lama sekali.
“Mbak Neni, nanti kenalkan Dea pada anak baru yang Mbak Neni jaga, ya,” kata Dea.
Mbak Neni mengangguk.
”Pasti Mbak Neni kenalkan. Tapi Dea harus sabar, ya, karena anak itu sekarang ada di dalam perut Mbak Neni.”
Dea kaget bercampur bahagia. Jadi, anak baru yang akan dijaga Mbak Neni adalah anak Mbak Neni sendiri. Dea sangat bahagia, rasanya seperti mendengar bahwa dirinya akan punya adik.
“Kalau dedek sudah lahir, main sama Dea, ya,” kata Dea sambil mengelus perut Mbak Neni.
Mereka pun berpelukan lagi, tapi sekarang Dea sudah tidak sedih. Benar kata Ayah, Ibu, dan Mbak Neni kalau Dea sudah mulai mandiri dan harus belajar untuk terus mandiri.