Suatu ketika salah seorang anak Pak Grutu membuat masakan istimewa. Bu Grutu mengajak keluarganya makan siang sambil menggelar tikar di bawah pohon mangga Pak Karjo yang rimbun dan teduh. Pak Grutu menolak.
"Banyak hantu di sana!" ujarnya beralasan.
Diam-diam Pak Grutu mengintip dari balik jendela. Istri dan anak-anaknya tampak asyik makan siang di bawah pohon mangga sambil ngobrol. Sementara cucu-cucunya berlarian dan bermain-main dengan riang gembira.
Dalam hati Pak Grutu merenung. Ternyata kerja keras Pak Karjo tak sia-sia. Seluruh penduduk desa dapat merasakan hasilnya, termasuk anak dan cucu Pak Grutu sendiri. Walau Pak Karjo tak punya keturunan, tapi ia menganggap seluruh generasi muda di desa itu sebagai anak dan cucunya. Ternyata hingga akhir hayatnya Pak Karjo masih menanam amal kebajikan. Buah kerja kerasnya tak habis-habis dipetik sampai sekarang. Bahkan mungkin dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Pak Grutu menatap sekeranjang mangga di atas meja. Ah, tampak menggiurkan! Pak Grutu mencicipi sebuah. Hmm,... rasanya manis menyegarkan. Pak Grutu mengupas sebuah mangga lagi.Tapi tiba-tiba
"Lo, Pak, katanya tidak suka mangga?" Bu Grutu muncul di muka pintu. Pak Grutu gelagapan.
"Eh... anu, cuma mencicipi."
"Lo, mencicipi koksampai dua biji?" sindir Bu Grutu sambil membenahi biji mangga yang masih berserakan. Ia hendak membuang biji-biji mangga itu.
"Eit, bijinya jangan dibuang, Bu. Biar nanti kutanam di pekarangan!"
"Buat apa menanam biji mangga Pak? Bukankah masih lama menunggu pohonnya tumbuh dan berbuah. Lagipula belum tentu kita dapat menikmati hasilnya!"
"Buat anak cucu, Bu!" teriak Pak Grutu seraya membawa biji mangga. Diraihnya cangkul yang tergantung di dinding dapur menuju pekarangannya. Bu Grutu cuma menatap suaminya bingung sambil garuk-garuk kepala.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.