Boneka Penyemangat dari Hati ke Hati

By Putri Puspita, Rabu, 9 Agustus 2017 | 02:00 WIB
Boneka Penyemangat (Putri Puspita)

Pagi itu di terminal, untuk pertama kalinya Tania pergi jauh tanpa ditemani kedua orang tuanya. Sebenarnya, Bapak bersikeras ikut, tetapi Tania tidak tega Ibu yang sedang sakit ditinggalkan di rumah bersama Nana kecil. Lagipula, uang tiket bus, lebih baik dipakai beli obat untuk Ibu saja. Begitu pikir Tania.

“Tidak apa-apa, Pak. Tania nanti diantar langsung sampai di depan asrama, kok,” kata Tania.

Bapak mengangguk. Tania tersenyum.

“Tania baik-baik, ya. Maaf Bapak dan Ibu tidak bisa antar. Ini disimpan, ya, Tan,” kata Bapak menyerahkan sebuah kotak. “Dibukanya di dalam bus saja,” kata Bapak lagi.

Tania mengangguk. Perpisahan ini berat untuk Tania. Ia baru akan bertemu ketika liburan sekolah, enam bulan lagi, itu pun kalau ada ongkos pulang.

Bapak sibuk berbicara dengan kernet dan supir bus yang merupakan teman akrab Bapak ketika menjadi supir bus dulu. Bapak pasti ingin memastikan kalau Tania sampai di asrama dengan baik.

“Tan, ini nomor telepon tetangga kita, Bu Sutiah. Kalau di sekolah boleh pinjam telepon, kabari Bapak, ya, Nak,” kata Bapak sambil menyerahkan selembar kertas.

Penumpang bus sudah diminta naik oleh kernet dan supir. Tania rasanya ingin menangis karena harus berpisah. Sekali lagi Bapak memeluk Tania.

“Kamu akan jadi anak pintar dan hebat, Tan. Bapak yakin!” kata Bapak. Tania mengangguk Ia sekuat hati menahan air matanya.

Sampai bus berjalan, Tania melihat Bapak melambaikan tangan dari atas motor tua yang digunakan Bapak untuk mengantar penumpangnya. Tania balas melambai sampai akhirnya bus semakin menjauh dan Bapak tak terlihat lagi.

Air mata Tania turun perlahan-lahan, membayangkan dirinya tinggal terpisah dengan keluarga kecilnya yang begitu hangat walau terkadang menahan lapar. Bapak dan Ibu akan selalu berusaha agar Tania bisa bersekolah. Mereka bekerja keras siang malam, panas maupun hujan. Mereka tak ingin Tania hanya jadi lulusan SD seperti Bapak dan Ibu.

Tania menarik nafas panjang dan mengusap air matanya dengan sapu tangan. Ia teringat akan kotak yang tadi diberikan Bapak. Tania membukanya perlahan. Disana ada sebuah boneka lucu, sebuah surat, dan beberapa lembar lima puluh ribuan.

“Ini pasti tabungan Ibu dan Bapak,” kata Tania.