“Ya ampun aku ketiduran…” kataku sedikit terkejut.
Aku segera keluar kamar menemui Ibu.
“Bapak mana Bu?” tanyaku.
“Melau,t Bi,” katanya.
“Lo, kok, sudah berangkat? Biasanya lebih malam?” tanyaku heran.
“Hmmm… coba lihat ini jam berapa?” kata Ibu.
Aku pun menoleh ke jam dinding dan mendapati sudah pukul 21.40 malam. “Astaga, lama sekali aku tidur,” kataku.
Aku berpikir pasti Bapak belum berangkat ke laut, pasti masih bersiap-siap di pinggir.
“Bu, aku susul Bapak, ya,” kataku.
“Sudah malam, besok kamu sekolah Bi,” kata Ibu yang artinya aku tidak boleh pergi.
Entah apa yang mendorongku. Aku berlari sembunyi-sembunyi ke tempat Bapak. Dalam hati aku berharap Bapak belum berangkat, apalagi diperbolehkan ikut melaut.
Sayangnya ketika aku sampai di tempat biasa Bapak parkir kapal, tak ada lagi kapalnya. “Pasti sudah berangkat,” kataku dalam hati, sedikit kecewa.
Malam itu dan malam-malam lainnya ternyata sama. Setiap aku berlari ke tempat biasa Bapak menyandarkan kapal, tak ada Bapak. Bahkan saat makan pagi pun tak ada Bapak.
Sudah 1 bulan lebih tak ada Bapak. Aku memutuskan untuk berjalan mendekati para cermin yang menggantung di pohon, berharap di sana bisa ada petunjuk tentang Bapak.
Bersambung