Barangkali kecrekan itu akan dipakainya mengamen. Sepertinya pengamen kecil itu juga terjebak hujan, pikirku singkat.
Ah, masa bodohlah, toh aku tak mengenalnya! Lapar kembali meremas perut. Lagi-lagi black forest kukeluarkan dari dalam tas, kurogoh dalam bungkusan plastik. Aku membuka mulut lebar- lebar, siap melumat potongan blackforest itu dengan lahap. Tapi sepasang mata cekung di sampingku tak lepas menatap kue coklat itu.
Aku tertegun. Lalu menoleh. Bocah kecil berbaju lusuh itu tergagap, kemudian buru-buru melemparkan pandangannya ke jalan.
Kembali kubuka mulut lebar-lebar, si bocah kecil diam-diam mencuri pandang. Aku melirik. Dia melengos. Apa peduliku? Bocah itu tak meminta, lagipula black forest ini, kan, memang jatahku. Kalau dibagi dua, mana cukup untuk mengganjal perut? Bocah kecil mengulum bibirnya dengan lidah, tanpa sadar dia mengusap-usap perutnya. Aku terhenyak. Berikan... jangan... berikan... jangan... ugh! Dengan berat hati kusodorkan black forest itu, “Mau?”
Terus terang tadinya aku sekadar berbasa-basi menawari. Tapi ups... diluar dugaan si bocah kecil mengangguk. Glek... Aku menelan ludah, terpaksa kurelakan bungkusan berpindah tangan. Nyam... nyam... nyam... Bocah kecil nikmat mengunyah, sementara perutku yang meronta kian terasa. Dalam waktu singkat disantapnya kue jatahku sampai tandas.
Sambil menahan air liur, kuratapi black forest-ku yang telah lumat dalam mulut bocah itu. Si bocah menghabiskan sisa kue, bahkan menjilati cokelat yang masih menempel dalam plastik. Ah, tentu lezat rasanya. Tapi mungkin black forest itu memang rejekinya hari ini. Dia kelihatan lapar sekali. Aku sudah memberikannya. Aku harus rela!
Hujan mulai reda. Aku berjalan pulang dengan perut lapar dan perasaan lega. Biarpun gagal makan black forest, tapi masih ada semangkuk sayur terong dan sepiring tempe hangat untuk makan siangku. Sementara bocah kecil tadi belum tentu punya jatah makan siang hari ini.
Sesampainya di rumah, aku langsung menghambur ke meja makan. Saat kubuka tudung saji, aku terperangah. Black forest! Bukan hanya sepotong, tapi seperempat loyang! Aku mengusap mataku, jangan-jangan cuma mimpi. Tapi ketika kucolek kue tart itu, ujung telunjukku penuh berlumur cokelat. Kucicipi rasanya, mmmh... Pasti bukan mimpi!
“Eit, cuci dulu tangannya!” tegur Ibu tiba-tiba, aku terlonjak.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.