Sudah 3 hari Datuk menginap di panti wreda yang dihuni oleh teman-temannya. Runi dan Rudi merasa sangat kehilangan. Mereka tak sabar untuk segera menjemput Datuk. Apalagi saat itu sudah mulai libur sekolah. Mereka bisa menjemput Datuk tanpa harus menunggu pulang sekolah.
“Ma, ayo kita jemput Datuk,” pinta Runi pada Bu Dini. Di sebelahnya ada Rudi yang mengangguk kuat-kuat mengiyakan permintaan saudaranya.
“Ma, kami sekarang sedang libur. Kalau Datuk belum mau pulang, biar kami saja yang menginap di sana,” usul Rudi.
“O iya, boleh juga usulmu. Ayo siapkan barang-barang kalian,” sahut Bu Dini.
“Horeeee!” sorak Runi dan Rudi bersamaan.
Kedua anak itu segera berkemas. Mereka sudah siap dalam waktu yang singkat. Setiba di sana, mereka memberikan salam hormat kepada Datuk dan teman-temannya. Runi dan Rudi pun berkenalan dengan Tita dan Rendi, anak-anak sebaya mereka yang ternyata keluarga dari teman-teman Datuk. Mereka datang ke situ untuk menengok nenek mereka.
“Nenek suka tinggal di sini karena tempatnya sejuk, udaranya bersih. Kata Nenek tempat ini mirip rumahnya waktu kecil, jadi dia betah di sini,” ucap Tita.
“Kami ke sini mau menjemput Datuk, kakeknya ibu kami,” ujar Runi.
“Ooo... Pasti dia detektif yang menemukan kacamata berbingkai emas itu, ya?” kata Rendi, sepupu Tita.
“Oh, kacamata emasnya sudah ditemukan?” tanya Rudi sedikit kecewa.
“Ssst... Di tempat ini masih ada misteri yang belum terpecahkan, lo. Misteri garukan di pintu,” bisik Rendi.
“Runi, Rudi, di sini kalian rupanya. Kalian mau menjemput Datuk, ya? Hmmm... Datuk belum mau pulang. Masih ada misteri yang belum diselesaikan,” kata Datuk sambil berjalan dengan tongkatnya.
“Misteri garukan di pintu,” bisik Datuk pelan. Mendengar itu, keempat anak itu langsung berpandangan.
“Ayo kita pecahkan misterinya sama-sama,” pekik Rudi.
“Ayooo!” jawab mereka semua.
“Sudah beberapa malam ini, penghuni rumah ini mendengar suara garukan di pintu kamar. Suara itu hanya terdengar saat malam hari. Anehnya, tidak ada apa-apa saat pintu kamar dibuka,” Datuk menjelaskan panjang lebar. Cerita itu kemudian dilanjutkan oleh Tita yang sudah mendengar dari neneknya.
Malam itu, Runi, Rudi, Tita, dan Rendi menginap di panti wreda. Rudi dan Rendi di kamar yang ditempati Datuk. Runi dan Tita di kamar yang ditempati Nenek Mawar, neneknya Tita. Saat malam tiba, mereka berjaga-jaga sambil menunggu. Krrkkk... Krrrk.... terdengar bunyi berkeresak. Rudi menajamkan pendengarannya. Suara itu hanya terdengar samar-samar kemudian hilang. Datuk yang pendengarannya sudah mulai berkurang sama sekali tidak mendengar suara itu.
“Kalian dengar suara itu?” bisik Nenek Mawar. Suara itu terdengar sangat jelas di kamar yang ditempati Runi dan Tita itu.
Nenek Mawar berjalan perlahan ke arah pintu. Dengan perlahan pula ia membuka pintu kemudian mengintip. Tidak ada siapapun di balik pintu itu.
“Nek, suaranya bukan dari pintu. Dari atas,” bisik Runi.
“Iya, Nek, dari atas,” sahut Tita menegaskan.
Tok tok tok! Mereka dikagetkan oleh suara ketukan. Kali ini ada Rudi dan Rendi di balik pintu.
“Kalian dengar suaranya?” bisik Rudi.
“Iya, kami dengar. Suaranya dari atas, dari plafon,” jawab Runi sambil berbisik pula.
Keempat anak itu kemudian mencari jalan untuk melihat ke bagian atas plafon. Mereka mencoba memanjat lubang plafon yang letaknya di kamar makan. Tanpa sengaja, mereka menjatuhkan peralatan makan.
“Hei, siapa itu? Mau apa kalian?” bentak Pak Bowo, petugas panti wreda.
Keempat anak itu bergantian mencoba menjelaskan. Mereka ingin menyelidiki misteri suara garukan.
“Ooo, jadi kalian pikir sesuatu yang menggaruk itu ada di atas plafon. Hmmm... Mungkin juga. Hampir semua penghuni gedung ini pernah mendengarnya. Hanya saja mereka pikir garukan itu ada di depan pintu kamar,” gumam Pak Bowo.
“Iya, benar. Suara itu dari atas. Kami mendengarnya sendiri,” ujar Runi mantap.
“Baiklah. Besok pagi kita selidiki. Sekarang kalian kembali tidur, ya,” kata Pak Bowo.
Keempat anak itu mencoba untuk tidur. Mereka memasang alarm supaya tidak terlambat bangun esok paginya. Mereka tidur dengan gelisah karena suara garukan itu sesekali terdengar. Paginya, mereka sudah berkumpul lagi di ruang makan. Setelah sarapan, Pak Bowo menaiki tangga menuju plafon. Sayangnya tubuhnya terlalu besar untuk masuk ke dalam lubang plafon.
Rudi yang berbadan kecil menawarkan diri untuk naik ke atas plafon. Ia sudah siap dengan lampu senter terikat di kepalanya dan memakai tas pinggang yang berisi peralatan detektif. Setelah dinasihati Datuk supaya berhati-hati, Rudi memanjat tangga itu. Dalam sekejap tubuhnya menghilang di lubang plafon itu.
“Nah, itu dia!” seru Rudi lantang. Seruan itu diiringi bunyi berkeresak dan bunyi mengeong.
Bip! Bip! Ada pesan di telepon genggam Runi. Ternyata Rudi mengirimkan beberapa foto dari atas plafon. Terlihat ada seekor anak kucing dengan 3 ekor anaknya yang lucu. Rupanya yang membuat garukan selama ini adalah seekor induk kucing yang mencari tempat untuk melahirkan anaknya. Kucing-kucing itu kemudian dipelihara oleh Nenek Mawar.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sylvana Hamaring Toemon.