“Mas, pulang saja, yuk…” rengek Lusi. “Sst.. pulang bagaimana, gamelannya belum bunyi, nih,” bisik Cipto.
“Aduh, justru itu, aku enggak mau lihat hantu,” sahut Lusi kesal.
“Sst… hantu itu enggak ada. Ini pasti penjahat!” sanggah Cipto.
“Terserahlah, aku enggak mau ketemu hantu atau penjahat ata…”
KLOTAK! Deg! Lusi langsung terdiam. Dengan hati-hati Cipto mengintip ke luar. Sesosok bayangan kecil tampak mendekati gamelan. Tangan dingin Lusi refleks meremas tangan kakaknya.
“Ting..ting..” mulai terdengar bunyi gamelan. Bunyinya membuat Lusi merinding.
Tiba-tiba terdengar suara lain.
“Hatsyi!!” Lo, hantu, kok, bersin? Sebelum Lusi bisa mencegah, Cipto sudah keluar dari lemari kecil itu.
“Siapa kamu? Kenapa memainkan gamelan ini?” tanya Cipto langsung sambil menyorotkan senternya.
Sesosok bayangan itu mengangkat kepala dengan terkejut. “Ampuun!” pekik sosok bayangan yang ternyata adalah anak kecil. Dia sama sekali bukan penjahat atau hantu Ratu Bangkalan, melainkan anak kecil seumuran Lusi! Rupanya, Cipto tadi menaburkan merica di gamelan itu. Logikanya, hantu, kan, tidak mungkin bersin gara-gara merica.
Anak itu kemudian bercerita. Namanya Tiko. Ayahnya dulu sangat menyukai barang-barang peninggalan Kerajaan Bangkalan, terutama set gamelannya. Sebelum ia meninggal sebulan lalu pada malam Jumat legi, ayah Tiko mengatakan ia ingin sekali mendengar gamelan itu dimainkan. Karena itulah Tiko selalu datang memainkan gamelan pada malam Jumat legi.
Tak terasa air mata Lusi meleleh mendengar cerita sedih itu.