"Biar saya saja yang bayar," katanya dengan suara serak.
Pak Kondektur menerima uang itu dengan kesal dan meninggalkan mereka. Karena gugupnya, Wulan sampai lupa berterima kasih pada lelaki di sampingnya.
Wulan heran, kenapa lelaki itu begitu baik dan mau membayari ongkos busnya. Padahal Wulan tak kenal sama sekali.
"Astaga, jangan-jangan..." Melintas kembali pikiran buruk di benaknya.
"Jangan-jangan lelaki ini mau menculikku. Dia membayariku supaya aku tidak curiga padanya."
Jantung Wulan kembali berdegup kencang. Baru saja kemarin ia baca berita di koran tentang aksi penculikan anak-anak.
Seingat Wulan, lelaki ini tadi juga naik dari sekolahnya. Jangan-jangan dia memang telah mengawasi Wulan sejak tadi. Wulan memandang ke luar jendela. Ups, hampir saja terlewat! Dia sudah harus segera turun. Wulan berdiri. Lelaki itu juga berdiri untuk memberi jalan. Tapi, astaga! Ternyata dia juga ikut turun. Wulan masih harus berjalan sekitar 500 meter untuk menuju ke rumahnya. Cepat-cepat ia melangkah menyusuri jalan kecil. Wulan berusaha menenangkan diri. Namun saat ia menoleh, lelaki tadi ternyata masih mengikutinya.
Kali ini Wulan benar-benar takut. Dengan panik ia mempercepat langkah kakinya. Tapi, lelaki itu pun semakin dekat. Kini dia mulai berlari sambil sesekali menoleh ke belakang.
Bruk! Karena kurang hati-hati, kaki Wulan tersandung batu dan ia terjatuh. Lelaki itu berusaha mendekatinya. Tapi, Wulan buru-buru bangkit dan berlari sekuat tenaga. Ia tak peduli lagi pada lututnya yang perih berdarah. Akhirnya Wulan tiba juga di rumahnya. Ia segera berlari masuk dan menubruk ibunya yang sedang mengatur meja makan. Wulan hampir menangis.
"Wulan, kamu kenapa?" tanya Ibu heran.
"Mana Mas Dewo?" Wulan memandang ibunya.
"Mas Dewo?"