Nika si Pendiam dan Maung yang Gagah

By Sylvana Toemon, Sabtu, 5 Mei 2018 | 08:00 WIB
Nika si pendiam dan maung yang gagah (Sylvana Toemon)

Nika pun mulai bercerita tentang ia dan maung. Semakin lama suaranya semakin jelas dan ia semakin bersemangat. Penduduk desa mendengarkan dengan saksama.

Tiba-tiba dari arah hutan, maung yang disebut-sebut itu muncul dan dengan jinaknya duduk di samping Nika. Ia mendengkur lembut saat Nika membelainya.

Tido, anak Pak Kepala Desa perlahan melangkah maju. Tidak dipedulikannya panggilan ayahnya, memintanya berhenti. Tido maju terus dan menaruh tangannya yang gemetaran pada kepala maung itu. Maung itu mendengkur lembut. Nafas Tido mengendur.

Anak-anak lain juga menangkap aura bahwa maung itu tidak berbahaya dan ingin bermain dengan mereka. Dengan segera, mereka maju dan membelai-belai maung itu. Maung itu tampak senang dibelai oleh mereka. Ia merendahkan duduknya, agar punggungnya sejajar dengan Tido. Dengan satu lompatan, Tido sudah duduk di atas punggung maung Anak-anak lalu berkeliling desa bersama maung itu.

Seluruh penduduk desa bengong melihat kejadian itu. Maung yang ini memang tampak sangat jinak!

Anak-anak desa lainnya juga mulai bertanya ini itu kepada Nika soal sang maung. Dan, Nika mendapati dirinya bisa bercerita dengan lancar dengan mereka. Ia tidak lagi pemalu!

Begitulah, untuk beberapa lama, maung itu tinggal di tepian hutan dan bermain dengan Nika dan teman-teman barunya. Setelah Nika betul-betul punya banyak teman, maung itu seperti berbicara kepada hati seluruh penduduk desa. Suaranya sangat berwibawa dan karismatik.

“Terima kasih telah menerima saya dengan baik di desa ini. Saya senang sekali melihat keakraban penduduk desa ini. Saya juga sangat senang saat Nika dengan berani maju dan menghadapi kalian semua. Saya senang melihat kini ia punya banyak teman. Kini saya akan pergi. Ada anak-anak lain di Tataran Sunda ini yang perlu bantuan saya. Sekali lagi, terima kasih,” ucap suara itu.

Maung itu menjilat tangan Nika sebagai tanda perpisahan. Kemudian ia berpaling dan berjalan menuju hutan. Sebelum sampai hutan, maung itu menghilang.

Hanya satu yang terlintas dalam pikiran bapak kepala desa, Prabu Siliwangi.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.