Monster Naga dari Utara (bag. 2)

By Vanda Parengkuan, Selasa, 1 Mei 2018 | 08:00 WIB
Monster Naga dari Utara (Bag.2) (Vanda Parengkuan)

Leopold menanti dengan jantung berdebar, hukuman apa yang akan diberikan Magia padanya. Namun, wajah gadis penyihir itu tampak melembut. Ia berkata,

“Tapi… aku akan memaafkanmu kali ini. Kamu pasti orang asing yang tak tahu apa-apa. Namaku Magia. Siapa namamu? Kenapa kau bisa sampai di tempat ini? Tak ada seorang pun yang tahu tempat kolam mata air ajaib ini!”

Dengan rendah hati, Leopold menjawab, “Maafkan aku, Magia. Aku sudah berhari-hari berjalan jauh, dan menemukan tempat yang nyaman untuk tidur di bawah pohon ini. Pada saat kau datang, aku tidak tahu harus berbuat apa,  sehingga hanya terdiam di sini…”

Magia tersenyum senang mendengar jawaban Leopold yang sopan. Ia pun menjawab dengan ramah, “Datang dan bermalamlah di kastilku. Tentu lebih nyenyak tidur di bantal daripada di lumut lembab."

Leopold ragu-ragu. Namun saat itu ia mendengar burung-burung itu berkata dari atas pohon, “Pergilah, ikuti dia. Tapi jangan memberi darahmu. Kau akan lupa siapa dirimu, dan terkurung seumur hidup di kastilnya sebagai pelayannya!” 

Maka Leopold pun  pergi mengikuti Magia. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di depan sebuah kastil besar. Di bawah kilau sinar bulan, kastil itu tampak biru keperakan. 

Ketika memasuki kastil itu, Leopold melihat banyak ruangan yang dihiasi guci-guci dan perabotan indah. Ratusan lilin menyala di tempat lilin emas, sehingga tempat itu sangat terang. Mereka akhirnya tiba di ruangan makan. Tampak ada meja keemasan dengan dua kursi. Mereka pun duduk di situ.

Tak lama kemudian, keluarlah  pelayan-pelayan laki-laki dan perempuan berbaju putih. Langkah kaki mereka tidak terdengar saat berjalan. Mereka membawa berbagai makanan mewah untuk Magia dan Leopold.

Setelah selesai makan malam, Magia mengantarkan Leopold ke sebuah kamar yang berisi tempat tidur dan bantal empuk. Namun ketika akan tidur, Leopold seperti mendengar lagi suara yang berkata, “Ingatlah, jangan  berikan darahmu! Kau akan melupakan dirimu, dan menjadi salah satu pelayannya!”

Keesokan paginya, Magia bertanya pada Leopold, “Kau sangat baik dan sopan. Maukah kau tinggal di kastil ini? Kau juga bisa tetap muda dan abadi seperti aku…”

Leopold  hampir tergoda. Namun peringatan kedua burung itu selalu terngiang di telinganya. Karena itu, Leopold menjawab dengan hati-hati,

“Jangan marah, Magia. Aku terbiasa hidup berkelana. Beri aku beberapa hari untuk berpikir…”

Magia setuju. Ia lalu membawa Leopold ke ruangan-ruangan lain di kastil itu. Ia memamerkan segala harta dan permata miliknya agar Leopold mau tinggal di kastilnya. Namun, sebenarnya, semua harta itu hanyalah hasil sihir. Magia bisa memunculkan semua harta itu dengan bantuan cincin ajaib Raja Salomo. Semua hartanya itu nantinya akan lenyap tanpa jejak.  

Suatu hari, Magia membawa Leopold ke ruang rahasia. Di situ terdapat sebuah kotak emas kecil di atas meja perak. Ia menunjuk ke kotak itu dan berkata, “Inilah harta terbesarku yang tidak ada duanya di dunia ini. Ini adalah cincin emas yang berharga. Bila kau mau menjadi temanku dan tinggal di kastil ini,  aku akan memberimu cincin ini sebagai hadiah. Kau akan menjadi orang yang paling sakti di dunia. Tapi syaratnya, kau harus meneteskan tiga tetes darahmu ke jari kelingkingku, sebagai tanda persahabatan!”

Ketika mendengar kata-kata itu, Leopold merasa tubuhnya diselimuti angin dingin. Ia sangat ketakutan. Namun ia ingat bahwa jiwanya dipertaruhkan. Untunglah, Leopold cukup cerdik untuk menyembunyikan ketakutannya. Ia pura-pura bingung dan bertanya, “Apa kehebatan cincin itu?”

Magia menjawab, 'Tidak ada manusia yang bisa mengerti kekuatan cincin ini. Tidak ada manusia yang bisa paham arti tulisan rahasia yang terukir di atasnya. Tetapi, walau aku hanya mengerti sedikit, aku bisa melakukan keajaiban besar. Jika cincin kuletakkan di jari kelingking tangan kiriku, maka aku bisa terbang seperti burung kemanapun aku mau pergi.

Jika cincin aku letakkannya di jari ketiga tangan kiri, aku tidak terlihat namun aku bisa melihat semua yang ada di sekitarku. Jika cincin aku letakkan di jari tengah tangan kiri, maka tidak ada api atau air atau senjata tajam yang bisa menyakitiku. Jika aku menaruhnya di telunjuk tangan kiri, maka aku bisa memunculkan benda apapun yang saya inginkan. Aku bisa dalam sekejap membangun rumah atau apapun yang saya inginkan. Dan, selama aku memakai cincin di ibu jari tangan kiri, tanganku akan begitu kuat sehingga bisa memecah batu dan dinding.

Selain itu, cincin itu memiliki tanda-tanda rahasia lain yang belum bisa dimengerti manusia. Tidak diragukan lagi, cincin ini mengandung rahasia yang sangat penting. Cincin ini milik Raja Salomo, raja yang paling bijaksana.”

Leopold terkejut mendengar cerita itu. Cincin yang selama ini dicarinya, kini ada di depan matanya. Leopold bertekad untuk mendapatkan cincin itu.

Leopold berharap Magia akan menyuruhnya mencoba memakai cincin itu. Namun, gadis itu segera memasukkan cincin itu kembali ke dalam kotak.

Beberapa hari kemudian, Leopold dan Magia berbicara lagi soal cincin itu.

“Aku tidak percaya kalau cincin itu memiliki kekuatan seperti yang kau ceritakan. Rasanya tak mungkin…”

Magia kesal karena Leopold tidak percaya padanya. Ia segera membuka kotak itu dan mengeluarkan cincin itu.

“Sekarang, cobalah serang aku dengan pedang yang terpajang di dinding itu!” kata Magia.

Leopold mengambil pedang pajangan di ruangan itu dengan ragu-ragu. Ia lalu menusukkan pedang pelan-pelan ke  arah Magia. Namun, di depan Magia seperti ada dinding yang tak terlihat.  Pedang itu tak dapat menembusnya. Magia tertawa, “Tusuklah lebih keras!”

Leopold mencoba menusuk lebih keras. Namun ujung pedang malah menjadi bengkok. Magia lalu memindahkan cincin ke jari telunjuknya. Seketika dia menghilang dari tempat itu dan tiba-tiba muncul di samping Leopold sambil tertawa.

“Bolehkah aku mencoba cincin itu?” tanya Leopold. "Aku ingin melihat sendiri keajaibannya!”

Magia tidak curiga. Ia memberikan cincin ajaib itu pada Leopold. 

“Aku harus meletakkan cincin ini di jari mana, supaya tidak ada senjata yang bisa melukaiku?” tanya Leopold pura-pura lupa.

"Oh, di jari tengah tangan kirimu," jawab Magia sambil mengambil pedang. Ia lalu menyerang Leopold. Namun di depan tubuh Leopold seperti ada tembok yang tak terlihat sehingga tak dapat diserang.  

“Apakah cincin ini juga bisa membelah batu besar?” tanya Leopold.

“Tentu saja bisa. Ayo, kita coba pecahkan batu besar di halaman,” ajak Magia.

Di halaman kastilnya, Magia menunjukkan cara memecahkan batu. Leopold mengulurkan pukulan tinjunya ke depan batu besar. Sungguh ajaib! Dengan satu pukulan tinju, batu itu rontok ke tanah menjadi seribu keping.

“Ha ha ha… sekarang kau baru tahu kehebatan cincin ini, kan?” tawa Magia.

Pada saat itu, Leopold memindahkan cincin itu ke jari ketiga tangan kirinya. Dalam sekejab mata, ia menghilang dari depan Magia.

“Leopold… dimana kau? Cepat lepas cincin itu!” seru Magia mulai khawatir.

Leopold malah melangkah lebih jauh, lalu memindahkan cincin itu ke jari kelingking tangan kirinya. Seketika itu juga ia melayang ke udara seperti burung. Ketika Magia melihat Leopold yang terbang menjauh, sadarlah Magia kalau ia telah ditipu. Betapa marahnya gadis penyihir itu.

“Lihat saja! Akan kubalas perbuatanmu!” teriak Magia marah.

(Bersambung)

Adaptasi cerita oleh: L. Olivia