Co Ming membereskan mangkuk-mangkuk bekas mi dagangannya. Ah, Co Ming sedih sekali. Dia harus membuang lagi sisa mi yang tidak terjual.
“Tidak habis lagi, Ayah?” tanya Lui Ming. Co Ming menghela napas. Lui Ming tahu ayahnya sedang gelisah.
“Yah… bagaimana lagi,” kata Co Ming. “Beberapa hari terakhir ini, kita kalah saingan dengan penjual mi baru di ujung jalan itu. Warungnya memang baru dan tempatnya lebih strategis.” Co Ming menoleh pada anaknya.
“Lui Ming, kamu kenapa? Lui Ming! Lui Ming!” panggil Co Ming.
Lui Ming tersentak. “Kamu memikirkan apa, Lui Ming? Kamu tidak mendengarkan kata-kata Ayah.”
“Ayah, kalau keadaan seperti ini terus, apakah kita… apakah kita…” Lui Ming tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Co Ming mengerti kegelisahan anaknya.
“Apakah kita akan bangkrut, maksudmu?” Lui Ming mengangguk lesu. Co Ming pun tak tahu lagi yang harus dilakukannya. Dia cuma mengangkat bahu dan kembali membereskan sisa dagangannya.
Hari berikutnya, Lui Ming dan temantemannya sudah berkumpul di warung mi milik Co Ming. Mereka terlihat berunding dengan seru.
“Biar aku yang membelinya!” seru Sao Chan. Dia segera berlari meninggalkan warung. Setengah jam kemudian, Sao Chan kembali dengan sebuah bungkusan. Anak-anak segera mengerumuninya.
“Hmmm… lumayan,” kata Sao Chan.
“Tapi, menurutku masih lebih enak mi buatan ayahmu, Lui Ming,” komentar Min Tan. Anak-anak lain setuju.
“Kalau begitu, bukan masalah rasa,” kata Lui Ming.