Hati Roni berdebar. Mereka lewat di depan kamar Roni, lewat di ruang tengah. Tapi tak ada yang mengetuk kamarnya ataupun memanggil namanya.
“Betul kan mereka tak peduli padaku!" kata Roni dalam hati.
Roni memasang telinganya baikbaik. Nah, ini dia saat yang ditunggu- tunggu. Orang tuanya, Sinta dan Rini tentu kini sudah tiba di ruang makan. "Pengumuman apa, tun!" kata Rini.
"Jeritan hati seorang anak!" Sinta membaca keras- keras. Lalu tertawa. Rini juga tertawa.
"Siapa yang menempelkan kertas itu?" terdengar suara Ibu.
"Roni, Bu!" jawab Rini.
Roni terus memasang telinganya baik-baik. Ia sangat ingin tahu komentar selanjutnya. Tapi, tak terdengar suara apa-apa, bahkan kedua kakaknya yang biasanya bawel juga diam.
Dengan perasaan heran Roni mulai duduk di bangku menghadapi meja belajarnya dan membuka buku PMP-nya. Tapi, ia tak bisa memusatkan pikiran pada pelajarannya. Malah yang ada dalam pikirannya adalah surat yang ditempelkannya di dinding ruang makan. Baris-baris kalimat yang ditulisnya seolah-olah terbayang di matanya:
JERITAN HATI SEORANG ANAK
Tak seorang pun memikirkan diriku.
Tak seorang pun di rumah ini mengerti diriku.
Hampir semua kawanku di kelas diizinkan menonton pertunjukan robot di Senayan.
Tapi, Ayah, Ibu dan kedua kakakku tidak berniat menontonnya.
Kata Ibu, "Karcisnya mahal."
Kata Ayah, "Lihat saja, nanti!"
Kata kedua kakakku, "Apa sih bagusnya nonton robot?"
Padahal aku ingin sekali menontonnya.
Coba kalau ada pameran tanaman hias, pasti kedua kakakku ribut ingin pergi. Kalau ada pameran elektronika atau mesin-mesin, Ayah pasti tidak melewatkanya. Dan Ibu paling semangat kalau ada pameran buku.
Apa boleh buat. Aku hanyalah seorang anak. Aku tak berdaya.
Aku hanya bisa kecewa, kecewa, kecewa, kecewa ....
Roni
Roni makin jengkel. Di luar tetap tak ada orang yang membicarakan soal Roni. "Rupanya mereka menganggap suratku itu angin lalu saja!" pikir Roni. Dan Roni merasa makin malang. Pertunjukan itu tiga hari lagi. Agaknya betul-betul tak ada harapan baginya untuk menonton pertunjukan itu.
Tiap hari kawan-kawannya membicarakan pertunjukan itu. Heru akan berusaha supaya bisa menyalami si robot. Roi dan Vicky sudah membeli karcis VIP, supaya bisa melihat dengan jelas. Yang lain akan pergi, walaupun beli karcis kelas III.
Tiba-tiba didengarnya suara desir minyak. Rupanya Ibu sedang menggoreng sesuatu di dapur. Lalu suara debur air di kamar mandi. Itu pasti Ayah yang sedang mandi.
Sekarang Roni sudah betul-betul yakin, tak ada gunanya berharap suratnya itu diperhatikan. Dia berusaha memusatkan pikirannya pada pelajaran PMP (Kewarganegaraan). Lebih baik belajar sungguh-sungguh supaya ulangan besok berhasil.
Sesudah itu Roni keluar dari kamarnya. Ia merasa agak malu dan mau menyobek kertas yang tadi ditempelkannya. Di ruang tengah Sinta dan Rini sedang bermain halma.
Melihat Roni, Sinta berkata, "Kecewa nih, yeee!"
Roni diam saja. Ia terus ke ruang makan ada dua helai kertas dan selembar karcis pertunjukan robot. Lekas-lekas Roni mendekat dan membaca surat yang sebuah lagi.
JAWAB AN ATAS JERITAN HATI
SEORANG ANAK
Terlampir sehelai karcis untuk Roni yang kami sayangi.
Semoga tidak kecewa lagi.
Ketahuilah, sudah beberapa hari kami berusaha, supaya ada orang yang bisa menemanimu nonton pertunjukan tersebut.
Baru hari ini kami berhasil.
Kamu bisa pergi nonton dengan Mas Hari sepupumu.
Nanti kamu akan diantar dan dijemput.
Kebetulan Mas Hari juga ingin pergi.
Kedua kakakmu sudah bersusah payah untuk antri karcis.
Ayah dan Ibu bersedia mengeluarkan
uang ekstra untuk membeli karcis tersebut.
Semua itu demi Roni yang kami sayangi.
Ayah, ibu dan kakak-kakakmu.
NB: Jangan lupa angkat kertas-kertas ini dari dinding.
Roni tersipu-sipu. Sambil memegang karcis idamannya ia menuju ke dapur. Tepat saat itu pintu kamar mandi terbuka dan Ayah ke luar dari kamar mandi.
"Terimakasih, Pak, terimakasih, Bu!" kata Roni dengan gembira.
"Dan eh... maaf, aku kurang sabar!"
Ayah dan Ibu tertawa. Lalu Roni berlari menjumpai kedua kakaknya.
Cerita: Widya Suwarna Ilustrasi: Dok. Majalah Bobo
Tonton video ini, yuk!
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR