"Itulah akibatnya kalau hanya memikirkan makanan," omel Jepi pada dirinya sendiri. "Pergi ke hutan, tidak pamit. Siapa yang tahu kau ada di mana?"
Jepi Jerapah kembali mengamati kegiatan warga Rimbaria di tanah lapang. Ada yang sibuk mengatur meja-meja untuk menjual makanan. Ada yang terengah-engah menarik karpet ke atas panggung. Ada yang berteriak kecil karena tangannya kesetrum listrik waktu memasang lampu. Ada juga yang mulutnya sampai mencang-mencong karena terlalu serius memasang perkakas elektronik untuk acara tari dan nyanyi.
Matahari makin meninggi. Sinarnya terasa tajam menggigit kulit. Jepi Jerapah masih berpikir keras mencari akal. Apa yang bisa dilakukannya?
"Aku kan malu, kalau hanya ikut makan. Aku juga suka bekerja!" kata hati Jepi.
Jepi melihat beberapa warga Rimbaria yang masih kecil berlarian di antara para pekerja. Mereka hendak melihat apa yang dikerjakan para orang tua. Sesekali terdengar teriakan keras, mengusir anak-anak itu supaya menjauh. Mereka dianggap mengganggu kesibukan kerja. Kasihan, mungkin anak-anak itu ingin membantu juga ya, seperti Jepi?
Kling, kling, klik! Jepi mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Aha, aku tahu apa yang bisa kulakukan!" seru Jepi, gembira. Ya, ya, Jepi Jerapah dapat akal yang bagus sekali. Ini akan menyenangkan hatinya, para orang tua, dan juga anak-anak itu.
Jepi memetik beberapa kuntum bunga dan pucuk dedaunan muda. Dirangkainya bunga dan pucuk daun pada ranting pohon. O,o, Jepi membuat mahkota dari bunga dan dedaunan. Dalam waktu singkat, lima mahkota bunga selesai dirangkai Jepi.
Jepi memanggil anak-anak yang berlarian, "Siapa yang mau belajar membuat mahkota bunga dan daun muda?"
"Saya! Saya! Saya!" Beberapa anak mengacungkan tangan.
Sret, ikat sana, sret, ikat sini. Tu, wa, ga ....tu, wa, ga ....anak-anak bersama-sama membuat mahkota.
Baca Juga: Dongeng Anak: Bentihe di Hutan Lehi Kuihi #MendongenguntukCerdas
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR